Jadi Penyalur CPMI Ilegal ke Singapura, IRT di Batam Terancam 10 Tahun Penjara
Oleh : Paskalis RH
Selasa | 10-09-2024 | 13:44 WIB
AR-BTD-4024-Penyalur-CPMI-Ilegal.jpg
Terdakwa Santi Rahayu alias Mam Sisi, saat menjalani persidangan di PN Batam, Senin (9/9/2024). (Foto: Paskalis RH/Batamtoday)

BATAMTODAY.COM, Batam - Terdakwa Santi Rahayu alias Mam Sisi, ibu rumah tangga (IRT) di Kota Batam, yang kedapatan menampung Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) ilegal, terancam 10 tahun penjara di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Senin (9/9/2024).

Perempuan berambut pirang itu diseret kekursi pesakitan setelah ditangkap Satreskrim Polresta Barelang di kediamannya di Perum Paragon Hill, Blok Ametis nomor 33, Kelurahan Belian, Kecamatan Batam Kota sekira bulan Maret 2024 lalu.

Penangkapan terhadap terdakwa Santi Rahayu diungkapkan aparat kepolisian saat dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan yang dipimpin oleh ketua majelis hakim, Welly Irdianto didampingi Twist Retno dan Dina Puspasari.

"Terdakwa kami ditangkap di rumahnya. Penangkapan itu terjadi setelah kami mendapat informasi dari masyarakat bahwa rumah terdakwa jadikan sebagai tempat penampungan CPMI sebelum diberangkatkan ke luar negeri," kata saksi penangkap dari Polresta Barelang.

Saksi mengungkapkan, selain menangkap terdakwa pada saat penggerebekan, Polisi juga berhasil mengamankan dua orang korban yang merupakan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) yang hendak diberangkatkan ke Singapura untuk dipekerjakan sebagai Asisten Rumah Tangga (ART).

Kedua korban itu, kata saksi, adalah Riko Erita dan Baiq Noviana. Keduanya merupakan CPMI yang direkrut dari luar Kota Batam.

Menurut penuturan korban Riko Erita, kasus ini berawal ketika dirinya menanyakan lowongan kerja di luar negeri kepada seseorang bernama Lidia. Oleh Lidia, saksi Riko Erita pun diarahkan untuk menghubungi terdakwa.

"Atas arahan Lidia, korban Riko Erita kemudian menghubungi terdakwa melalui sambungan seluler. Dari percakapan mereka, terdakwa lalu menawarkan kepada korban untuk bekerja sebagai ART di Singapura," ujar saksi.

Namun sebelum diberangkatkan, dirinya terlebih dahulu diinterview oleh calon majikan di Singapura melalui video call. Setelah ada kesepakatan, terdakwa kemudian memberikan kode booking tiket pesawat dari Palembang kepada korban Riko Erita untuk datang ke Batam.

Sementara korban Baiq Noviana mengaku mendapatkan kontak terdakwa Santi Rahayu dari kerabatnya saat menanyakan lowongan kerja di luar negeri. Setelah korban Baiq Noviana memperoleh kontak terdakwa, kata saksi, korban pun langsung menghubungi terdakwa. Dari komunikasi keduanya, terdakwa meminta agar korban mengirimkan dokumen untuk keperluan pembuatan paspor.

"Terkait dokumen keberangkatan (paspor), terdakwa yang akan mengurus. Akhirnya korban pun datang ke Batam menggunakan pesawat yang akomodir oleh terdakwa Santi Rahayu," terang saksi.

Setibanya di Batam, lanjut saksi, para korban tidak langsung diberangkatkan ke luar negeri. Keduanya pun ditampung di rumah terdakwa sambil menunggu jadwal keberangkatan ke Singapura.

"Pada saat di penampungan (rumah terdakwa), kedua korban dipekerjakan sebagai Asisten Rumah Tangga tanpa memperoleh gaji," tambah saksi.

Atas keterangan yang disampaikan saksi, terdakwa Santi Rahayu alias Mam Sisi pun membantah. Ia mengatakan tidak pernah memfasilitasi para korban untuk melakukan interview dengan calon majikan di Singapura.

"Yang mulia, keterangan saksi yang mengatakan bahwa saya memfasilitasi interview antara para korban dan calon majikan di Singapura melalui video call itu tidak benar," bantah terdakwa Santi.

Usai mendengarkan keterangan saksi, hakim lalu menunda persidangan selama satu minggu untuk pemeriksaan saksi korban. "Untuk agenda sidang selanjutnya adalah pemeriksaan saksi korban. Jaksa tolong hadirkan para korban untuk dimintai keterangan," kata Hakim Welly sembari mengetuk palu menutup persidangan.

Untuk diketahui, terdakwa Santi Rahayu alias Mam Sisi harus berurusan dengan aparat penegak hukum setelah rumah yang ditempati diduga dijadikan sebagai tempat penampungan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) ilegal.

Atas perbuatannya, terdakwa dijerat dengan Pasal 81 jo Pasal 69 UU RI nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 15 miliar.

Editor: Gokli