Pemerintahan Prabowo-Gibran Diharapkan Perkuat Pelaksanaan Otonomi Daerah
Oleh : Irawan
Kamis | 05-09-2024 | 11:44 WIB
andi_malarangeng1.jpg
Pengamat politik Andi Alfian Malarangeng (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Pengamat politik Andi Alfian Malarangeng mengatakan, pada dasarnya pelaksanaan otonomi daerah (otda) dalam rangka mendistrisbusikan kewenangan dan memperpecepat pembangunan di daerah, serta memberikan kesempatan rakyat untuk menyalurkan aspirasinya secara demokratis.

"Tren yang ada sekarang di dunia itu, membuat provinsi dan memilih gubernur seperti di Prancis. Tadinya tidak ada itu provinsi, yang ada kabupaten/kota, tapi kemudian dibentuk provinsi, dilakukan distribusi keuangan dan kewenangan," kata Andi Malarangeng dalam diskusi Gelora Talk dengan tema 'Pilkada, Otonomi Daerah dan Percepatan Pembangunan di Era Prabowo-Gibran, Rabu (4/9/2024) sore.

Sebagai salah satu anggota tim pakar penyusun Otda bersama Prof Ryas Rasyid, kata Andi Malarangeng, dan pelaksanaan pilkada gubernur tetap diperlukan dalam rangka distribusi kewenangan dan keuangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

"Menurut saya, jangan terus disalahin pemberian otonomi daerah kepada pemerintah daerah, sehingga terkadang menimbulkan perselisihan. Tetapi pemerintah pusat juga salah, karena norma-norma standarnya, pasal-pasalnya belum dibuat sampai sekarang, soal distribusi kewenangan itu," tegasnya.

Andi Malarangeng yang kini menjadi politisi Partai Demokrat menilai gubernur yang dihasilkan dari pilkada di 38 provinsi, akan memudahkan pemerintah pusat berkoordinasi dengan bupati/walikota di 514 kabupaten/kota melalui gubernur, daripada pemerintah secara langsung mengurusi kabupaten/kota tersebut.

"Kalau pemerintah secara langsung mengurusi itu, agak susah membayangkan. Kalau mau meniadakan pilkada gubernur, pemilihannya bisa melalui DPRD. Judulnya tetap daerah otonom, tapi pemilihannya melalui DPRD. Itu memang ada wacana seperti itu, gubernurnya di DPRD, sedangkan kabupaten/kotanya langsung," ujarnya.

Andi Malarangeng berharap agar Otda tetap dilaksanakan, namun dibarengi evaluasi secara berkala untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang ditimbulkan dalam konteks demokrasi dan desentralisasi, sehingga menjadi lebih baik lagi.

Sedangkan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermasyah Djohan mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri berbagai etnis dengan jumlah penduduk mencapai 280 juta jiwa, tidak bisa dikelola secara terpusat.

"Sehingga undang-undang mengamanatkan, Indonesia harus diurus dengan otonomi daerah, dan harus dibagi dengan pemerintah daerah. Konsepnya membangun Indonesia dengan tata kelola sendiri. Gampangnya, menumbuhkan demokrasi lokal di daerah, dan Pak Jokowi salah satu contoh kaderisasi yang tumbuh di daerah," kata Djohermansyah.

Melalui konsep otda, maka sebagai daerah otonom, semua daerah yang terdiri dari provinsi, kabupaten/kota dibolehkan untuk memilih pemimpin di eksektuf (gubernur, bupati/walikota) dan di legislatif (DPRD). Sementara pemerintah pusat tetap melakukan pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemerintahan.

"Sekarang yang perlu dirapikan adalah soal kepartaian, rekruitmen kepemimpinan yang maju di Pilkada. Agar pemimpin yang maju betul-betul pemimpin yang berkapasitas dan berkompeten, serta berintegritas, jangan hanya karena isi tas," katanya.

Kemudian ketika terpilih dan menjalankan pemerintahan daerah, maka kepala daerah harus menjalankan prinsip meritokrasi dengan memilih bawahannya, karena prestasi. Bukan sebaliknya, karena suka atau tidak suka, atau bahkan mereka yang menjadi tim suksesnya selama pilkada.

Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira menambahkan, kunci utama keberhasilan pelaksanaan otda adalah 'unity of the leader' (kesatuan para pemimpin) seperti yang disampaikan Presiden terpilih Prabowo Subianto.

"Pak Prabowo ingin semua elite bersatu, karena tanpa adanya persatuan, stabilitas dan solidaritas, nggak mungkin ada akselerasi pembangunan di daerah dan bisa tercapai dengan baik," kata Anggawira.

HIPMI merekomendasikan agar ada perbaikan sistem sistem pemilihan kepala daerah dan revisi paket undang-undang politik agar terciptanya sistem meritokrasi. Sehingga hanya orang yang terbaik yang menjadi pemimpin.

"Kalau kami di HIPMI, membatasi ketua umum hanya bisa dipilih satu kali, tidak bisa dua kali. Karena kami ingin ada regenerasi dan menciptakan kader-kader pemimpin. HIMPI adalah organisasi kader, dan kami ingin memberikan contoh," tandasnya.

Editor: Surya