Belajar dari Peristiwa Penembakan Donald Trump, Betapa Pentingnya Upaya Rekonsiliasi Nasional
Oleh : Irawan
Kamis | 18-07-2024 | 09:24 WIB
gt_trump_ditembak.jpg
Diskusi Gelora Talks dengan tema 'Donald Trump Tertembak, Ada Apa Dibalik Pilpres Amerika?'., Rabu (17/7/2024) sore (Foto: Tangkapan Layar)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengamat geopolitik Tengku Zulkifli Usman mengingatkan, peristiwa penembakan terhadap mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, kandidat calon presiden (capres) dari Partai Republik pada Sabtu (13/7/2024) lalu, bisa saja terjadi di Indonesia.

Hal itu terjadi akibat gaya komunikasi politik ekstrem yang dipertontonkan oleh Donald Trump dan Presiden AS Joe Biden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sejak 2020 lalu, hingga menyebabkan terjadinya polarisasi di publik mereka.

"Kita mau mengingatkan, penembakan Trump ini akibat komunikasi ekstrem di depan publik, yang dipraktikkan Joe Biden dan Donald Trump. Ini juga bisa terjadi di Indonesia, jika yang kalah tidak terima dan yang menang arogan," kata Tengku Zulkifli Usman, dalam diskusi Gelora Talks, Rabu (17/7/2024) sore.

Dalam diskusi dengan tema 'Donald Trump Tertembak, Ada Apa Dibalik Pilpres Amerika?'. Zulkifli mengingatkan elite politik Indonesia yang masih menggunakan politik identitas hingga menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat, untuk tidak menggunakannya lagi.

"Ada orang-orang yang sengaja memelihara permusuhan dan perselisihan seperti pada Pemilu 2014-2019 lalu, kadang pelakunya partai Islam. Kalau dia terdesak, teriak orang lain Fir'aun dan kalau dia bagus dia bilang Musa. Mereka mengklaim Musa terus, yang lain dibilang Fir'aun terus. Padahal dalam Pilkada antara Fir'aun dan Musa berteman dan berkolaborasi," katanya.

Menurut dia, gaya komunikasi politik ekstrem harus ditinggalkan, karena tidak menguntungkan bagi Indonesia dan merugikan generasi selanjutnya, serta tujuan pencapaian Indonesia Emas 2045. Masyarakat harus diberikan pencerahan dan pencerdasan dalam berpolitik.

"Cara berpikir seperti ini akan merusak kita, ketika Pemilu atau Pilpres bermusuhan, tapi ketika Pilkada berkolaborasi dan berteman, kan nggak konsisten. Jadi kelakukan-kelakuan munafik dan hiprokrit seperti ini harus dihilangkan dari Indonesia," katanya.

Ia berharap semua pihak bersatu dan damai, sehingga tercipta rasa aman, serta akan memudahkan pemerintah untuk melakukan konsolidasi Indonesia Emas 2045 dan mewujudkan negara superpower baru.

"Saya kira apa yang dilakukan Partai Gelora untuk mengedukasi masyarakat, melalui channel Gelora TV dengan menggelar diskusi seperti ini, sudah benar karena memang mentalitas seperti ini harus ada" ujarnya.

Tengku juga sepakat dengan upaya yang telah dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk melanjutkan rekonsiliasi nasional.

"Stop polarisasi, jangan berpikir pendek untuk kepentingan 5 tahun saja, nggak ada gunanya kita berantem terus. Kita punya Indonesia Emas 2045, dan Indonesia akan terus ada dalam setiap Pemilu," tegasnya.

Sedangkan Pakar Komunikasi dan Hubungan Internasional, Prof Dr Bachtiar Aly, MA mengatakan, bahwa pemerintah Indonesia tidak perlu mendukung salah satu satu calon presiden AS, antara Joe Biden atau Trump.

"Indonesia itu mirip gadis cantik, kita yang diperlukan. Mau siapa yang jadi presiden, baik Trump maupun Biden sama saja. Kita juga tetap harus melakukan lobi-lobi kepada Amerika, bagaimana semua kepentingan nasional kita agar diutamakan," kata Bachtiar Aly.

Ia menilai dinamika politik di AS memang menarik untuk diperbicangkan, karena terjadinya perubahan signifikan dalam revolusi mental di negara yang dianggap paling demokratis di dunia tersebut.

"Gara-gara pertarungan politik, memang nilai-nilai sopan santun sudah terkikis dan serangan-serangannya juga bersifat pribadi. Di Indonesia, gejala ini sudah ada sampai ada keinginan politik bumi hangus. Kita harus hormati, suka atau tidak suka siapa yang terpilih," katanya.

Sementara Chris Komari, Aktivis Demokrasi di Amerika Serikat dan Anggota Dewan Kota 2002 & 2008 menegaskan, bahwa penembakan terhadap capres dari Partai Republik Donlad Trump tidak ada konspirasi politik yang dilakukan oleh Presiden AS Joe Biden.

"Donald Trump itu, satu-satunya mantan Presiden Amerika yang tidak pernah menerima kekalahan. Memang banyak teori tentang kejadian ini, dan media berperan dalam membentuk opini publik mengenai Joe Biden," kata Chris Qomari.

Aktvis asal Indonesia ini menilai, kejadian penembakan ini memang menguntungkan Trump secara politik maupun popularitasnya, dan bisa jadi memenangi Pilpres AS pada November 2024 mendatang.

Namun, Chris menilai sosok Joe Biden masih jauh lebih baik daripada Donald Trump secara personal, dan tidak terlibat kasus hukum. Sehingga Joe Biden dinilai lebih tepat yang menjadi Presiden Amerika Serikat.

Editor: Surya