Atraksi Topeng Monyet, Antara Hiburan dan Eksploitasi Hewan
Oleh : Hendra Mahyudi
Senin | 24-06-2019 | 17:52 WIB
topeng-monyet1.jpg
Salah satu atraksi topeng monyet yang terdapat di wilayah Marina, Tanjungriau, Sekupang. (Foto: Hendra)

BATAMTODAY.COM, Batam - Keberadaan atraksi topeng monyet tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak. Di mata mereka, melihat monyet bermain motor-motoran dan melakukan kepandaian akrobatik lainnya merupakan kesenangan tersendiri.

Namun di balik itu semua, ada nestapa tersendiri yang dialami oleh monyet yang dipaksa untuk melakukan atraksi. Mulai dari pemaksaan hingga penganiayaan yang dilakukan terhadap hewan.

Femke den Hass, Koordinator Perlindungan Satwa Liar JAAN dikutip dari Liputan6.com, pernah mengatakan bahwa sebagian dari kalangan masyarakat Indonesia banyak yang beranggapan bahwa topeng monyet ini adalah budaya atau tradisi yang dikemas dalam rupa hiburan.

Kendati begitu, menurut perempuan berkebangsaan Belanda ini, topeng monyet merupakan bentuk eksploitasi manusia terhadap hewan dengan mendapatkan uang dari atraksi yang dilakukan oleh sang hewan.

"Topeng monyet bukan tradisi, tak lebih dari bisnis yang kejam. Para pawang itu menyewakannya kepada orang lain, kepada para anak-anak jalanan. Kemudian anak-anak itu mereka mintai uang setoran sebesar Rp 30 ribu per hari," ungkap Femke saat itu.

Sementara itu, Kepala Seksi Wilayah Dua BKSDA Batam, Decky Hendra Prasetya mengatakan, perihal atraksi topeng monyet yakni kebanyakan monyet ekor panjang memang bukanlah satwa liar yang dilindungi, sehingga dalam segi pidana tidak ada payung hukumnya. Namun dari segi etika dan sikap perikehewanan hal ini tidak layak.

"Kadangkan sebelum monyet itu mahir malakukan atraksi, kan ada unsur pemaksaan bahkan kekerasan yang dilakukan kepada monyet. Hal ini kan gak layak, walau atas nama mencari uang, kan jatuhnya sejenisnya eksploitasi," ujar Decky saat dihubungi BATAMTODAY.COM, Senin (24/6/2019).

Perlakuan kepada hewan ini menurut Decky pernah hangat di Jakarta, saat Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mulai membuat imbauan dan melakukan penolakan terhadap hewan yang juga didukung oleh pemerintah Jakarta saat itu.

Sementara itu, kalau dari BKSDA sendiri Decky hanya bisa mengimbau kepada masyarakat bahwa itu merupakan hal yang tidak layak dan tidak beretika.

Ia katakan, BKSDA biasanya akan memberi nasehat terhadap sang pemilik monyet itu, dan akan ditindak lanjut dengan mengambi hewannya.

"Kita mungkin lebih pada nasehat dan edukasi, dan untuk hewan normalnya kita ambil sebagai shock therapy. Kalau memang perlu kita minta ke pemerintah menerbitan surat ederan bahwa atraksi topen monyet dilarang," tutupnya.

Hal lainnya, dari sisi pelaku atraksi (eksploitasi) topeng monyet. Bagi mereka ini merupakan cara untuk menyambung hidup, mencari sumber pemasukan lewat atraksi-atraksi akrobatik yang dilakukan oleh hewan.

Hal ini disampaikan, Ajiz (bukan nama sebenarnya) sang penggiat atraksi topeng monyet yang terdapat di wilayah Marina, Tanjungriau, Sekupang pada hari Minggu (23/06/2019) sekitaran pukul 19:00 malam kemarin.

"Iya, kayak gini saya cari uang mas, lagi pula anak-anak banyak yang suka dan ketawa melihat monyet saya bermain motor dan atraksi lainnya," pungkas Ajiz.

Editor: Yudha