Mampukah Sistem Zonasi Atasi Fenomena Pelajar Bawa Kendaraan ke Sekolah?
Oleh : Hendra
Sabtu | 22-06-2019 | 15:51 WIB
bawa-motor-smp.jpg
Pelajar SMP di Batam membawa kendaraan ke sekolah. (Foto: Hendra)

BATAMTODAY.COM, Batam - Kedekatan jarak antara rumah dengan sekolah merupakan salah satu kriteria utama dalam pertimbangan penerimaan siswa baru dengan sistim zonasi. Hal ini tentu saja akan memangkas jarak tempuh dan biaya yang dikeluarkan akan menjadi lebih ekonomis.

Selain itu, bisa jadi akan mengurangi fenomena pelajar di bawah umur yang membawa kendaraan pribadi ke sekolah (khususnya sepeda motor), karena selama ini kebanyakan alasan orangtua adalah sekolah anak yang sangat jauh dari rumah, sehingga memberi izin anak membawa kendaraan tanpa memikirkan resiko yang akan dialami oleh anak mereka adalah solusi yang tidak sangat efektif.

Terkait fenomena remaja ini, Wakasatlantas Polresta Barelang, AKP Kartijo mengatakan, tentu hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena salah satu syarat bagi pengemudi kendaraan yakni harus dilengkapi dengan Surat Izin Mengemudi (SIM), dan usia yang harus mencukupi 17 tahun untuk memiliki SIM.

"Sementara, pelajar ini kan masih di bawah umur, sudah jelas ini bertentangan dengan UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," ujar Kartijo saat dihubungi BATAMTODAY.COM, Sabtu (22/06/2019) siang ini.

Pantauan di lapangan, sejauh ini fenomena anak-anak di bawah umur yang membawa kendaraan makin hari jumlahnya semakin banyak. Hal ini selain dikarenakan jarak rumah mereka dengan sekolah yang cukup jauh, pun turut juga ketidak sadaran orangtua akan aturan undang-undang yang berlaku serta akan musibah yang kapan saja bisa terjadi.
Ditambah lagi, secara emosional pelajar dengan usia yang masih muda tersebut mudah terbawa ego masa remaja. "Beberapa alasan orangtua mengizinkan anaknya yang masih di bawah umur membawa kendaraan pribadi ke sekolah, bisa berupa kesibukan yang membuat mereka tidak dapat mengantar putra-putrinya, selain itu mereka juga menganggap anaknya telah mahir berkendara dan dapat berhati-hati di jalan," lanjut Kartijo.

Hal lainnya, di lapangan orangtua tidak memahami dan tidak selalu bisa mengawasi, bahwa anak-anak mereka yang masih berusia di bawah umur tersebut terkadang suka berkendara secara ugal-ugalan. Hal ini membuat sang anak memiliki resiko lebih besar terhadap kecelakaan jalan raya yang kapan saja mampu memakan korban jiwa.

Ibarat memakan buah simalakama, kebutuhan akan alat transportasi sekolah anak juga mengambil risiko yang cukup tinggi, sehingga saat disunggung perihal spirit yang dibawa oleh sistim zonasi sekolah, kendati hal ini bukanlah wewenangnya, Kartijo mendukung jika zonasi ini mampu memangkas jarak yang harus ditempuh oleh anak menuju sekolah, tanpa harus menggunakan sepeda motor.

"Perihal zonasi sekolah jelas itu bukan wewenang saya, namun jika program ini mampu mengurangi fenomena remaja SMP yang membawa kendaraan, saya pikir ini layak didukung. Kalau sekolah dekat dari rumah kan bisa menggunakan sepeda biasa, hemat biaya dan menyehatkan dan jauh dari polusi," papar Kartijo.

Kartijo menambahkan, namun jika fenoma ini soal peraturan, sudah pasti para anak SMP ini melanggar aturan, karena belum cukup umur dan memiliki SIM. "Semoga saja program zonasi ini mampu berpengaruh mengurangi fenoma anak SMP yang membawa kendaraan, karena ini bukan tupoksi saya menjawabnya," imbuhnya.

Editor: Gokli