Tinggal di Gubuk Berdinding Kardus, Keluarga Haji Arab Butuh Perhatian Pemerintah
Oleh : Romi Chandra
Rabu | 28-02-2018 | 19:26 WIB
keluarga-hajiarab.jpg
Keluarga Haji Arab yang sangat membutuhkan perhatian pemerintah (Foto: Romi Chandra)

RODA KEHIDUPAN itu berputar, kadang di atas dan terkadang di bawah. Hal itulah dirasakan H. Arab (60) bersama istrinya, Sarah (40), serta tujuh anaknya yang masih kecil-kecil. Dulunya mereka memiliki usaha yang terbilang sukses, namun kini mereka harus tinggal di rumah panggung seluas 3x4 persegi. Itupun hanya berdinding kardus dan beralaskan tikar. Bagaimana kisah hidup mereka, berikut liputan wartawan BATAMTODAY.COM, Romi Chandra.

Tatapan penuh harapan langsung terpancar dari wajah Sarah yang tengah memasak untuk makan siang keluarganya, saat awak media mendatangi 'istananya', Rabu (28/2/2018). Ya, berbeda dari istana yang ditempati raja dengan kemegahan menyelimuti. Iistana keluarga ini hanyalah rumah panggung berdindingkan kardus. Itupun sudah lusuh dan tidak layak pakai.

Tidak hanya itu, sangat tak terbayangkan jika matahari mulai terbenam dan malam datang menghampiri. Ancaman lain juga harus dihadapi. Dinding dari kardus itu tidak mampu menahan dinginnya angin laut yang datang menusuk tubuh.



Mungkin, bagi Sarah dan Arab, masih bisa menahannya. Lantas, bagaimana dengan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil? Kulit tipis mereka tentu tidak cukup kuat untuk itu. Namun kondisi ini harus mereka pikul dan harus terbiasa dengan hal itu.

Kembali pada peribahasa tadi, roda kehidupan yang berputar, dulunya keluarga ini berkecukupan. Mereka tinggal di Tanjungbalai Karimun dan memiliki usaha rumah makan yang dikelola oleh Sarah. Sedangkan Arab, bekerja di perusahaan. Bahkan, Arab bisa melakukan ibadah naik haji pada tahun 1995 lalu.

Air matanya tiba-tiba tidak bisa dibendung begitu menceritakan kisah hidupnya. "Itulah namanya hidup. Kita tidak tahu kapan di atas dan kapan di bawah. Meskipun sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkendak lain. Sekarang kami harus terima kondisi ini," ungkap Sarah.

Kehidupan pahit ini mulai ia jalani sejak tiga tahun lalu, saat memutuskan untuk pindah ke Batam. Keputusan ini bukanlah keinginan mereka, namun kondisi di Karimun juga tidak bisa dipertahankan lagi.

"Usaha kami di Karimun mulai bangkrut karena persaingan bisnis. Kami tidak percaya dengan mistis, tapi itu benar terjadi. Usaha kami diguna-guna orang. Ada yang lagi makan tiba-tiba menemukan ulat, padahal sudah dicek sebelum dihidangkan pada pembeli," paparnya.

Kondisi itu semakin parah. Awalnya ramai pelanggan, hingga akhirnya tidak seorang pun yang datang untuk makan. "Kami tidak bisa lagi membayar sewa tempat. Rumah makan kami dulu dekat rumah Pak Gubernur Kepri Nurdin Basirun. Namanya Rumah Makan Minang Maimbau," kenangnya.

Kondisi yang semakin buruk, membuat mereka memutuskan untuk pindah ke Batam. Bermodal seadanya, mulai lah menyewa tempat tinggal di kawasan Tanjungriau.

Usaha yang dilakukan dengan mencari nafkah sebagai nelayan, dilakoni Haji Arab. Sementara Sarah, ingin membuka usaha dengan berdagang makanan kering asal kampung halamannya, Sumatra Barat.



Tapi keluarga ini kembali menjadi korban, usaha jualan itu justru melenyapkan modalnya. Sebab, ada orang yang memesan dan telah membawa, namun tidak membayar.

"Orangnya sudah menghilang dan membawa makanan kering. Sementara uang sudah habis untuk modalnya," lanjut Sarah.

Kondisi ini membuat mereka semakin terpuruk karena tidak mampu mebayar sewa rumah dan diusir pemiliknya. Penghasilan sebagai nelayan, hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka.

"Penghasilan nelayan hanya lepas untuk makan. Kalau dihitung, sebulan itu hanya dapat Rp600 hingga Rp800 ribu. Tidak cukup lagi untuk bayar kos-kosan, sehingga kami sering diusir pemilik kos," jelas Sarah.

Sementara untuk rumah panggung ini, merupakan belas kasih dari seorang warga dan kerap dipanggil Pakcik, yang tidak tega melihat kondisi kehiduoan mereka.

"Awalnya kami ingin menyewa di tempat Pakcik. Namun kata beliau tidak perlu, tanah tempatnya masih berlebih dan bisa dibangun rumah panggung. Dengan penghasilan dari nelayan itu kami bisa membangun tempat ini, meski sangat tidak layak," tambah Sarah.

Tekanan batin juga kian dirasakan, manakala melihat ketujuh anaknya yang putus sekolah. Bukan tidak ingin menyekolahkan, namun sekolah di Batam belum mau menerima dikarenakan mereka masih memiliki KK dan identitas dari Tanjungbalai Karimun.

"Kata guru SD di dekat sini, kami harus urus surat pindah dulu dari Karimun. Namun untuk pergi ke sana kan butuh biaya. Biaya itu sama sekali tidak ada, jadi terpaksa anak-anak tidak bisa melanjutkan sekolah begitu sampai di Batam," keluhnya.

Saat ini, Sarah tidak ingin memiliki impian yang tinggi. Ia hanya ingin memiliki modal membuka usaha, agar bisa membantu suaminya memenuhi kebutuhan dan mulai membangun tempat tinggal yang layak.

"Intinya sekarang adalah modal untuk membuka usaha. Bidang saya memasak, saya bisa memulai usaha berjualan kembali. Namun itu tadi, untuk makan saja tidak cukup," rintihnya.



Ia hanya berharap, pemerintah bisa membantu meringankan beban hidupnya bersama keluarga.

Sementara Ketua RT 06 RW 01 Kelurahan Tanjungriau, Indrianto, mengatakan, masyarakat banyak yang kasihan, namun kondisi saat ini juga sulit.

"Masyarakat ingin membantu, namun perekonomian saat ini juga lesu, jadi apa boleh buat. Untungnya masih ada warga yang mau memberikan tempat tinggal dan tidak perlu bayar. Selama ini sering diusir pemilik kos karena tidak sanggup bayar," terangnya.

Editor: Udin