Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Fenomena Wartawan Abal-abal Hanya Ada di Indonesia
Oleh : Saibansah
Kamis | 23-11-2017 | 18:03 WIB
diskusi_dewan_pers.jpg Honda-Batam
Para informan ahli dari 30 provinsi di Indonesia berfoto bersama dengan Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo seusai seminar. (Foto: Zamzami)

BATAMTODAY.COM, Serpong - Keberadaan wartawan tidak jelas media dan kompetensinya alias 'wartawan abal-abal', hanya ada di Indonesia. Bahkan di Afrika sekalipun, fenomena wartawan 'CNN' alias 'cuma nengok-nengok' itu tidak ada. Pertanyannya, mengapa di Indonesia ada ribuan wartawan semacam itu?

Itu adalah, karena di Indonesia, mereka mendapat ruang dan kesempatan. "Bahkan ada institusi pemerintah yang memelihara mereka," ungkap Ketua Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo pada seminar bertajuk 'Keadaan Kemerdekaan Pers Indonesia 2017: Penilaian atas 30 Provinsi' yang digelar di Grand Western Resort Serpong Tangerang Banten, Kamis (22/11/2017).

Dari kunjungan kerjanya ke sejumlah negara, Stanley melakukan pertemuan dengan berbagai pihak yang berhubungan langsung dengan media, tidak ada fenomena seperti di Indonesia itu. "Pertanyaannya adalah, mengapa pertumbuhan wartawan abal-abal itu begitu subur di Indonesia," ujar Stanly.

Itu ternyata, karena ada sejumlah instansi pemerintah dan swasta yang memelihara mereka. Ketua Dewan Pers itu kemudian menceritakan pengalamannya diundang oleh pejabat salah satu instansi pemerintah untuk menghadiri diskusi sekaligus melantik pengurus suatu organisasi. "Saya ini punya antena, kalau bertemu dengan wartawan abal-abal, antena saya langsung begini," ungkapnya.

Ternyata benar, lanjut Stenley, setelah saya cek ke teman-teman media, memang benar wartawan yang minta dilantiknya itu 'organisasi wartawan abal-abal'. Makanya, saya tidak mau melantik, tidak mau berfoto, meskipun saya terima jaket yang mereka berikan kepada saya. "Tapi saya tak berani pakai, takut dikira saya mendukung organisasi itu," tegasnya.

Sebaliknya, di luar negeri, jika orang yang menyaru dengan profesi tertentu, maka mereka akan berhadapan dengan hukum. Analoginya, jika ada orang yang mengaku-ngaku sebagai polisi, maka polisi yang asli akan menangkap dan memprosesnya secara hukum.

"Ini kita di Indonesia kan tidak, ada wartawan abal-abal di depan hidung kita, malah wartawan yang sungguhan minggir. Memang, teleransi kita di Indonesia ini bukan seratus persen lagi, tapi sudah seribu persen," ungkap Ketua Dewan Pers itu lagi.

Saat ini, data yang sampai ke Dewan Pers, di Indonesia terdapat 43.300 media online. Untuk menghadapi itu, Dewan Pers tidak bisa sendiri, harus bersama-sama dengan semua konsituen Dewan Pers dan masyarakat luat. Karena wartawan abal-abal itu tak ubahnya seperti ikan sapu-sapu yang hidup di sungai kotor. "Maka, kita semua harus bersama-sama membersihkan sungainya, agar ikan sapu-sapunya minggir," tegas Stenley menganalogikan.

Editor: Dardani