Dugaan Korupsi Alkes Embung Fatimah 2011

Fadillah Mengaku Rangkap Jabatan Berdasarkan SK Walikota
Oleh : Roland Aritonang
Kamis | 10-11-2016 | 09:26 WIB
korupsi-Alkes-Batam.jpg

Fadillah Ratna Malarangan, terdakwa kasus korupsi Alkes RS Embung Fatimah 2011. (Foto: Batamtoday.com)

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Sidang lanjutan terdakwa Fadillah Ratna Malarangan (57), terdakwa korupsi Alat kesehahatan (Alkes) RSUD Embung Fatimah pada tahun 2011, dilanjutkan kembali dengan agenda mendengarkan keterangan dari terdakwa di hadapan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang, Rabu (9/11/2016).

Dalam persidangan, terdakwa Fadillah Malarangan mengatakan, jabatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek pengadaan itu berdasarkan SK Walikota Batam, bukan keinginan terdakwa sendiri dan jabatan merangkap seperti itu masih berlaku di Kota Batam.

Kesaksian terdakwa itu dibenarkan oleh keterangan saksi yang meringankan terdakwa yaitu Ir. Rizki Indrakari, Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam yang membidangi SDM dan Kesra yang dihadirkan pada sidang sebelu‎mnya.

‎"Terkait dengan jabatan terdakwa yang merangkap sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan juga sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), ia menyebutkan bahwa pada tahun 2011 pengakatan terdakwa sebagai KPA dan PPK itu bukan karena kemauan atau keinginan dari terdakwa tetapi itu berdasarkan SK Walikota Batam," papar Rizki.

‎Baca: Riky Indrakari Jadi Saksi Meringankan untuk Fadillah

Di tempat yang sama, terdakwa menjelaskan tugasnya sebagai PPK dalam proyek ini adalah terlebih dahulu melaksanakan penyusunan spesifikasi teknis terkait alat-alatyang akan dibutuhkan sebagai penunjang peralatan-peralatan yang ada di RS Embung Fatimah Kota Batam.

"Tahun anggaran 2011 dimana ada proyek pengadaan alat kesehatan sejumlah Rp 20 Milliar untuk penunjang medis rumah sakit. Setelah itu PPK dijabat oleh saya dan panitia pengadaan barang dan jasa maupun tim penyusunan spesifikasi teknis dilakukan penujukan," jelasnya.

Lebih lanjut, terdakwa menerangkan untuk penyusunan spesifikasi teknis, pencariannya melalui brosur-brosur dan internet terkait spek dari 99 item alat kesehatan yang dibutuhkan sebagai penunjang medis RS itu.

"Penentuan harga belum ada pada saat penyusunan spesifikasi teknis, tetapi pada saat itu hanya mencari dan menyusun spesifikasi teknis alat-alat kesehatan yang dibutuhkan,"paparnya.

Terkait dengan penentuan harga, terdakwa menjelaskan dengan menggunakan berbagai perbandingan barulah harga didapatkan, seperti harga dari expo atau pameran alat-alat kesehatan,

Harga dari penawaran proyek pengadaan oleh distributor di tahun sebelumnya, harga dari distributor lainnya dan harga dari buku katalog milik kemetrian kesehatan.

"Maka dari harga-harga itulah digabungkan dan dikompilasi dan tidak melalui brosur tetapi sudah dilakukan perbandingan, sehingga ada 8 harga yang ditawarkan oleh distributor yang menjadi perbandingan," ungkapnya.

Sementara itu, untuk beberapa item barang, pihaknya tidak melakukan perbandingan harga karena memang hanya distributor tertentu yang memiliki spesifikasi barang yang memiliki kualitas tinggi.

"Terkait dengan item itu contohnya seperti alat Patologi anatomi, alat Scanner itu teknologinya hanya dimiliki oleh satu distributor saja, adapun dimiliki oleh distributor lainnya, spesifikasinya rendah sehingga tidak dilakukan perbandingan harga. Karena sesuai visi dan misi kami mencari alat yang berkualitas dan berkemampuan tinggi," jelasnya.

Dari keterangan terdakwa tersebut, yang disampaikan di depan persidangan itu, menjadi bantahan terhadap dakwaan JPU dimana didalam dakwaan terdakwa melakukan penyusunan HPS dan penentuan harga hanya melalui brosur-brosur saja, dan tidak adanya perbandingan sehingga JPU menduga adanya mark up harga.

Mendengar Keterangan terdakwa tersebut, Ketua Majelis Wahyu Prastyo SH bersama anggotanya Suherman SH dan Zulfadli SH menunda persidangan selama satu pekan dengan agenda mendengarkan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum.

Sebelumnya, dalam dakwaannya, JPU menyatakan terdakwa Fadillah merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang mendapatkan anggaran kegiatan pengadaan alat kedokteran, kesehatan dan KB yang bersal dari Anggaran Pendapatan Negara (APBN) senilai Rp20 miliyar dan merugikan negera sebesar Rp5.624.815.696.

Terdakwa diancam dengan pasal 2 juncto pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi juncto pasal 55 KUHP, dalam dakwaan primer.

Selain itu, terdakwa juga dijerat dengan dakwaan subsider melanggar pasal 3 juncto pasal 18 UU yang sama, atas jabatannya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dan PPK yang tidak dilaksanakan dengan Parpres Pengadaan Barang dan Jasa dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 serta Peraturan Pemerintah tentang Pengguanaan Keuangan Daerah. ‎

Editor: Dardani