Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

BI Kembali Gulirkan Pembahasan RUU Redenominasi Tahun Ini
Oleh : Redaksi
Selasa | 30-05-2017 | 11:50 WIB
Gub-BI-01.gif Honda-Batam
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menunjukkan mata uang rupiah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun emisi 2016. (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Bank Indonesia (BI) kembali mengungkit pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Redenominasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar dimulai tahun ini. Pasalnya, rancangan beleid yang memuat 18 pasal itu membutuhkan masa transisi implementasi yang cukup panjang, yaitu sekitar 7 tahun hingga 8 tahun.

"Kalau dari sekarang sampai akhir tahun nanti ada kemungkinan untuk bisa memasukkan RUU Redenominasi Rupiah, kami pasti ingin memasukkan," ujar Gubernur BI Agus DW Martowardojo, Senin (29/5/2017) malam.

Agus mengatakan, bank sentral akan menggandeng pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk berkoordinasi. Toh, redenominasi mata uang dibutuhkan untuk efisiensi pencatatan akutansi, termasuk meningkatkan reputasi ekonomi nasional.

Redenominasi tidak akan memotong nilai mata uang, seperti halnya kebijakan sanering. Sanering adalah pemangkasan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Kebijakan sanering ditujukan demi mengurangi jumlah uang beredar akibat melonjaknya harga-harga barang dan jasa.

Agus menilai, saat ini adalah saat yang tepat untuk memulai pembahasan redenominasi, mengingat bukan cuma kebutuhan masa transisi yang tidak sebentar, tetapi juga karena inflasi Indonesia dalam posisi rendah dan pertumbuhan ekonomi diperkirakan membaik.

"Kita lihat bahwa ekonomi kuartal pertama (5,01 persen) dibandingkan kuartal pertama tahun lalu (4,91 persen) atau dibandingkan kuartal keempat 2016 (4,94 persen), semua lebih baik. Jadi, ini merupakan saat yang tepat," imbuhnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengaku, mendukung pembahasan RUU Redenominasi untuk dilakukan tahun ini juga. Apalagi, ia menyebut, pemerintah tengah memiliki dukungan politik yang kuat terlihat dari pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2017. Tahun sebelumnya, pemerintah mendapatkan dukungan lewat UU Pengampunan Pajak.

Apabila kebijakan redenominasi diambil dalam waktu dekat, menurut Bhima, pemerintah dan BI akan diuntungkan waktu karena masa transisi dapat dilakukan tanpa terburu-buru.
Implementasi redenominasi memang tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua tahun ke depan, mengingat perekonomian global masih mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan AS yang berpotensi memperkuat nilai dolar AS. Sementara, salah satu syarat implementasi redenominasi, yakni kestabilan fluktuasi nilai tukar.

Tak cuma itu, sambung Bhima, implementasi redenominasi juga harus memperhatikan kondisi psikologis masyarakat. Buktinya, saat ini, masih ada anggapan di masyarakat bahwa redenominasi merupakan sanering.

"Ketika ekonomi sedang dalam masa-masa lesu, seperti sekarang, kalau ada gejolak dari kebijakan seperti itu, masyarakat akan membuat kegaduhan yang tidak perlu," terang dia.

Sekadar mengingatkan, RUU Redenominasi telah diusulkan sebelumnya, namun gagal masuk ke daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017. Wacana redenominasi diutarakan pada 2013 silam.

Kebijakan ini akan menghilangkan tiga angka terakhir dalam setiap pecahan mata uang. Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1. Salah satu negara yang pernah melakukan redenominasi mata uangnya, yakni Turki dengan mengubah denominasi 1.000.000 lira menjadi 1 lira pada 2005 silam.

Sumber: CNNIndonesia
Editor: Gokli