Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sejarah Pulau Berhala, Kepri Pemiliknya
Oleh : si
Selasa | 01-11-2011 | 12:14 WIB

Oleh : Susilowadi, SE, MH

Siapa pemilik Pulau Berhala sebenarnya dapat diketahui dari sejarah Pulau Berhala itu sendiri, yang bisa dibagi dalam empat kategori historis, yakni Hikayat Datuk Berhalo, Datuk Makam datuk Berhalo, Sumber Kolonial dan Data-data Masa Republik Indonesia.

1. Hikayat Datuk Berhalo

Dalam argumen perspektif historis yang dikeluarkan oleh bidang Kajian Akademik Tim Asistensi Pulau Berhala Pemerintah Propinsi Jambi, Datuk Berhalo menyebarkan Islam di daerah Jambi. Hal ini dipermudah karena perkawinan Datuk paduko Berhalo dengan Tuan Putri Selara Pinang Masak. Bagi orang Jambi figur Datuk Paduko Berhalo adalah seorang tokoh sangat penting karena membuktikan kepemilikan pulau Berhala dengan makamnya di pulau itu. Ketika penelitian dilakukan terhadap bukti makam di sana, tertara pada makam tersebut Datuk Berhalo dimakamkan sekitar tahun 1100 (abad XII Masehi).

Hal ini tentu saja menimbulkan suatu pertanyaan, mengingat Islam baru masuk sampai ke Aceh pada abad XIII akhir dengan adanya Kerajaan Samodera pada tahun 1293. Penyebaran Islam yang terjadi ke arah selatan baru berlangsung pada pertengahan abad XIV setelah pengaruh Singasari dan Majapahit berkurang, tepatnya setelah Paramesora membangun Kerajaan Malaka pada tahun 1350-an. Dengan demikian Islam menyebar ke arah selatan baru pada tahun 1400 Masehi. Ini terbukti karena pada tahun itu raja Indragiri masih bergelar Hindu yaitu Narasinga. Baru setelah pertengahan abad XV gelar raja-raja Indragiri menggunakan nama Islam. Dari analisis ini, tahun kehidupan Datuk Berhalo dengan penyebaran Islam di sekitar Riau tidak menunjukan kecocokan hingga 250 tahun.

Sisi lain yang menarik dari kasus ini adalah tentang Islam yang menyebar ke arah Riau dan Jambi adalah aliran Islam tasawuf yang dikembangkan oleh Samsuddin as Samatrani dari Aceh. Para pengikut Samsuddin ini banyak ditemukan di pantai timur Riau dan Lingga. Dalam aliran tasawuf terdapat langkah-langkah bagi umat dalam perjalanannya menuju kesempurnaan. Tahap-tahap ini disebut maqam dan diwujudkan dalam bentuk pengembaraan. Apabila Datuk Berhalo merupakan tokoh Islam pada saat hidupnya, mungkin saja dia melakukan pengembaraan ke arah Lingga dan meninggalkan bekas-bekas di sana yang disebut sebagai maqam[1]. Dengan demikian belum tentu kompleks makam Datuk Berhalo yang sekarang berada di pulau Berhala merupakan kuburan dari tokoh terkait.[2]

Ditinjau dari sudut sumber, penggunaan hikayat bagi suatu kajian historis memiliki kelemahan yang cukup besar. Ini terletak pada tidak adanya ciri utama dari sumber sejarah yaitu kronologis. Hikayat tidak menyebutkan angka tahun secara pasti dan sehingga menimbulkan kerancuan dalam penempatan peristiwa. Sebagai contoh seperti yang telah disebutkan di atas tentang jaman hidup Datuk Berhalo dan penyebaran Islam di Sumatra. Di samping itu uraian yang terdapat dalam hikayat lebih banyak memuat legenda atau cerita rakyat yang berasal dari tradisi lisan (oral tradition). Hal ini sangat sulit dibuktikan kebenarannya, ditambah pula dengan tingkat subyektivitas penulis yang cukup besar sehingga mengaburkan peristiwa yang sebenarnya.

Batas-batas wilayah juga cukup kabur. Dikatakan dalam kutipan itu bahwa di Kuala Jambi perbatasannya pinggir laut Tanjung Jabung di laut Pulau Berhala sepemedilan ke lautnya paduraksa dengan tanah Lingga Daik. Sebagai hasil analisanya dikatakan bahwa wilayah Jambi mencakup pulau Berhala dan Lingga Daik. Persoalannya mengapa tuntutan legitimasi itu hanya menyinggung Berhala dan bukan Lingga Daik. Dalam kondisi historis yang dibuktikan dengan sumber arsip, Berhala dan Daik tidak pernah bisa saling dipisahkan. Hal ini kelak akan terbukti dari beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda sejak abad XVIII. Jadi pernyataan yang dimuat dalam naskah lama silsilah Raja-Raja Jambi tersebut tidak bisa digunakan sebagai landasan validitas status Berhala.

2. Datuk Makam Datuk Berhalo

Dalam perspektif historis yang mendasari tuntutan Jambi atas status Berhala, argumen makam menduduki posisi yang sangat penting. Ini terbukti dalam tinjauan kritis yang dibuat oleh tim dan pernyataan resmi Pemerintah Propinsi Jambi yang dimuat pada harian Suara Pembaharuan sejak pertengahan Pebruari 2006. Persoalannya sekarang adalah sejauh mana keabsahan bisa dicapai dengan menggunakan eksistensi makam tersebut.

Dalam sejarah Indonesia telah berulang kali ditemukan makam dari seorang tokoh daerah tertentu di daerah lain. Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makasar. Cut Nya Dien pahlawan putri Aceh wafat dan dimakamkan di Sumedang. Begitu juga dengan Sunan Pakubuwono VI dari Kasunanan Surakarta yang dimakamkan di Ambon. Tokoh-tokoh tersebut jelas mewakili suku lain yang dimakamkan di daerah tertentu. Keberadaan makam para tokoh tersebut tidak otomatis mendorong etnis yang mewakilinya untuk menuntut kepada penguasa daerah setempat bagi perluasan dan pengakuan wewenangnya atas daerah tersebut, meskipun dia adalah seorang raja.

Contoh yang lebih tegas lagi dalam hal ini adalah makam Syech Yusuf dari Makasar di Afrika Selatan. Syech Yusuf berlayar sampai ke Afrika Selatan dan menyebarkan Islam di sana. Dalam rombongan Syech Yusuf ini terdapat banyak orang Bugis yang ikut berlayar dan bermukim di sana. Mereka membuka pemukiman yang sampai sekarang disebut sebagai kampung Makasar. Hubungan antara warga kampung ini dengan kerabatnya di daerah asalnya masih terjaga sampai sekarang (lihat kunjungan Prof. Dr. B.J. Habibie tahun 1993 ke kampung Makasar di Cape Town). Pola serupa juga terjadi dengan kampung-kampung Bugis di Bintan, Johor dan Penang. Semua bukti pemukiman dan makam tersebut tidak otomatis membuat para penguasa atau penduduk Makasar di Sulawesi menuntut semua itu menjadi bagian dari wilayahnya.

Dilihat dari sudut pandang sumber materi, makam merupakan bagian dari khasanah arsitektur kebendaan bagi sumber penulisan dan penelitian masa lalu. Penggalian informasi dari makam tidak hanya cukup dengan melihat usia dan keberadaan makam tersebut. Dalam metode penelitian arkeologi, yang berbeda dengan metode penelitian historis, penggalian informasi dari makam harus melewati tahap-tahap tertentu yaitu excavasi, observasi, deskripsi dan eksplanasi. Makam dalam hal ini menjadi artefact yang terlepas dari lingkungan sekitarnya (ecofact). Dalam penelitian arkeologi, artefact tidak bisa dipindahkan dan lebih terfokus pada konteks yang terdapat dalam kompleks makam tersebut.Informasi yang dihasilkan adalah menjelaskan siapa yang terdapat dalam makam itu dan pada masa apa dia dimakamkan, bukan mengapa dia dimakamkan di sana.

Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini, diperlukan analisis melalui metode sejarah yang akan menghasilkan sociofact. Metode sejarah akan mengkritisi sumber-sumber lain yang memperkuat hasil eksplanasi arkeologi, karena sejarawan tidak mungkin hanya bertumpu pada bukti kebendaan saja melainkan harus menggali apa yang terjadi di balik benda itu.[3] Metode penelitian sejarah (heuristik, kritik, interpretasi dan rekonstruksi) akan mencoba memberikan jawaban bagi pertanyaan Why dan How, yang masih belum terselesaikan dengan penggalian artefact. Sejarawan akan menghubungkan artefact dengan ecofact sehingga menjadi suatu sociofact yang akan digunakan sebagai salah satu sumber informasi.[4]

Tim peneliti Jambi nampaknya melakukan suatu kesalahan dalam menggunakan informasi yang diperoleh dari makam itu. Apakah mereka telah menggunakan metode arkeologi secara tepat? Ataukah menggunakan metode sejarah untuk meneliti suatu artefact, sesuatu yang merupakan penyimpangan. Dengan kesalahan dalam melangkah demikian, dapat diduga bahwa informasi yang dihasilkan perlu mengalami pengkajian baik validitas maupun otentisitasnya. Bagi suatu penelitian sejarah terutama yang menggunakan metode sejarah ilmiah, sumber arsip merupakan prioritas utama yang harus digunakan oleh sejarawan, bukan sumber materi lain[5].

3. Sumber Kolonial

Dalam argumen tim ahli asistensi Jambi, sejumlah sumber dari masa kolonial Belanda dikutip. Pertama-tama adalah Encyclopaedie van Nederlandsch Indie karya Dr. J. Paulus (terbitan Martinus Nijhoff, ‘s Gravenhage, 1917). Paulus memang menyebutkan bahwa secara administratif pulau Berhala termasuk wilayah Afdeeling Jambi. Ketika diadakan penelitian terhadap arsip-arsip pemerintahan Karesidenan Jambi, tidak ada ditemukan kata Berhala dalam keputusan pemerintah kolonial. Demikian pula dengan komentar Paulus yang menyebutkan bahwa penduduk Berhala termasuk suku yang berbudaya Bangka. Hal ini jelas merupakan suatu kesalahan karena tidak ada bukti lain yang menyatakan bahwa penduduk pulau Berhala terkena pengaruh kebudayaan Bangka. Sebagai perbandingan di sini D.G. Stibbe dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie tahun 1919 dengan penerbit yang sama menyampaikan bahwa penduduk Pulau Berhala memiliki kemiripan secara antropologis dan linguistis dengan penduduk Singkep karena jaraknya yang dekat dan seringnya kunjungan orang-orang Singkep ke pulau ini. Ditinjau dari kajian ilmiah, pernyataan Stibbe lebih dapat dibenarkan. Namun demikian karya ini tidak dilihat oleh tim pengkajian historis Jambi.

Dalam penggunaan khasanah kartografi, tim peneliti sejarah Jambi menyebutkan bahwa pada tahun 1922  dalam Schetskaart Residentie Djambie yang disusun oleh biro ensiklopedi di Batavia gugusan pulau Berhala masuk dalam wilayah Karesidenan Jambi. Hal ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya, mengingat pada tahun 1922 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang memasukan pulau Berhala bersama Blakang Daik ke dalam wilayah Onderafdeeling Lingga. Keputusan ini dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het jaar 1922 nomor 66 (Lembaran Negara Hindia Belanda) dan didukung dengan peta Residentie van Riouw en Onderhoorigheden. Dalam kajian kartografi nampak jelas bahwa letak gugusan Pulau Berhala dengan mercu suarnya berada di atas garis batas yang memisahkan antara Karesidenan Riau dan Karesidenan Jambi dan dimasukan dalam wilayah Riau.

Dalam peraturan baru tahun 1924, yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie nomor 201 tentang pembagian administrasi Karesidenan Riau, Pulau Berhala tetap dimasukan dalam wilayah Onderafdeeling Lingga. Hal serupa terulang kembali ketika pemerintah Belanda merombak pembagian administrasi Karesidenan Riau dengan menghapuskan Onderafdeling Pulau Tujuh pada tahun 1932. Pulau Berhala tetap menjadi bagian dari Onderafdeling Lingga yang diperintah oleh seorang Kontrolir dengan kedudukan di Pulau Penuba. Dalam peraturan ini, yang dibuat berdasarkan Besluit van Gouverneur Generaal tanggal 8 Agustus 1932 nomor 5 lengkap dengan peta terlampir, dijelaskan bahwa Blakang Daik dan Pulau Berhala bersama gugusan Pulau Tujuh termasuk dalam wilayah Lingga. Hal ini tidak berubah sampai pembentukan Propinsi Riau dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1957 nomor 78 (peta terlampir). Dengan demikian pernyataan dari tim sejarah Jambi yang bertumpu pada sumber kartografi tidak terbukti kebenarannya.

4. Data-Data Masa Republik Indonesia

Dalam khasanah arsip RI, tim tersebut menyebutkan tentang UU nomor 12 tahun 1956 yang memuat Propinsi Sumatra Tengah. Setelah dilakukan penelitian secara cermat, tidak ada kalimat yang menyebutkan bahwa pulau Berhala termasuk dalam wilayah Propinsi Jambi. Demikian juga dengan Lembaran Negara RI tahun 1957, tidak ada kalimat yang menyatakan demikian. Luas dan wilayah Propinsi Riau ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU tahun 1950. Sebaliknya kedua peraturan negara tersebut menyebutkan bahwa wilayah Propinsi Riau terdiri atas bekas wilayah Karesidenan Riau. Dengan demikian pulau Berhala termasuk ke dalam lingkup wilayah Propinsi (bekas Karesidenan) Riau. Ini bisa dibuktikan dari peta yang dibuat secara resmi pada tahun itu di mana ditemukan bahwa pulau Berhala termasuk dalam wilayah Propinsi Riau.

 


[1]Contoh lain dalam hal ini adalah makam Nabi Ibrahim di Mekkah yang bukan merupakan kuburan namun sebagai ukiran bekas telapak kakinya. Lihat Peta Salmu, Kamus bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta, Modern English press, Jakarta, 1991) halaman 912.

[2]Tentang maqam sebagai tahap pengembaraan kerohanian Sufi dapat dilihat pada Ensiklopedi Islam (Jakarta, Ikhtisar Baru van Hoeve, 1994) halaman 124.

[3]Hal ini karena bangunan yang sama dapat berubah fungsi dalam kurun waktu tertentu. Makam dapat digunakan sebagai tempat pemujaan, pemakaman atau tempat mencari inspirasi. lihatW.H. McDowell, Historical Research: A Guide ( London , Pearson Education, 2002) bab V.

[4] Tokoh arkeolog Indonesia Hasan Muarif Ambary sendiri mengakui bahwa  fungsi informasi arkeologi adalah melengkapi dan mempertajam analisa yang telah dihasilkan oleh sejarah sebagai  textual aided method. Lihat Hasan Muarif Ambary “Arkeo-Epigrafi Islam: Sebuah Pendekatan”, dalam Henri Chambert-Loir, ed., Panggung Sejarah (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1999) halaman 206.

[5] Lihat John Tosh, The Pursuit of History (London, Longman, 1993) halaman 30-31. Lihat juga L. Sulistyo Basuki, Administrasi Arsip: Sebuah Pengantar, materi kuliah di pasca sarjana Ilmu Kearsipan dan Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia , tt. Halaman 49. (Penulis adalah Pembina DPP Rumpun Melayu Bersatu Hulubalang Melayu Serumpun)