Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengukur Fluktuasi Kebebasan Pers Indonesia
Oleh : Redaksi
Senin | 27-02-2017 | 14:14 WIB
persindo.jpg Honda-Batam

Ilustrasi fluktuasi kebebasan pers. (Foto: Tempo)

Oleh Andian Wiwaha

SEPANJANG kurun waktu tahun 2016 yang dilakukan oleh LBH Pers dengan melakukan advokasi litigasi dan non litigasi dan melakukan pantauan perkembangan pers, LBH pers masih banyak mencatat bahwa pers masih menjadi target ancaman. Kasus-kasus pers semakin meningkat, gugatan dan tuntutan pidana (kriminalisasi kepada jumalis semakin meninggi sampai pada kekerasan atas pers.

 

Belum lagi ada pihak«pihak tertentu yang mencoba memberangus kebebasan pers dengan cara membungkam melalui gugatan hukum dan kriminalisasi pers yang tujuannya membungkam kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan menyatakan pendapat. Adapun kasus yang didampingi oleh LBH Pers secara keseluruhan berjumlah 33 kasus yang diantaranya 8 kasus perdata, 15 kasus pidana dan 10 kasus sengketa ketenagakerjaan.

Menurut catatan LBH Pers sepanjang tahun 2016, kami mencatat sedikitnya telah terjadi 83 kasus kekerasan dan korban kekerasan adalah seorang jurnalis. Rata-rata dari mereka menjadi korban kekerasan saat bertugas meliput sebuah peristiwa di lapangan. Dari segi locus atau tempat kejadian paling banyak teriadi di daerah DKI Jakarta 15, Jawa Barat 14 kasus dan Jawa Timur 8 kasus. sedangkan dari kategori pelaku kekerasan, paling banyak adalah Polisi 16 kasus, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan massa tidak dikenal berjumlah 12 kasus dan petugas keamanan swasta 10 kasus.

Adapun untuk kategori kekerasan fisik dan non-fisik yang paling banyak dialami oleh jurnalis adalah pelarangan Iiputan atau pengusiran berjumlah 25 kasus, penganiayaan berjumlah 26 kasus dan bentuk ancaman teror berjumlah 12 kasus.

Kasus yang anggap paling “brutal” menimpa jurnalis perempuan dari media online di Medan. Masih di Sumatera, kekerasan jurnalis media online di Riau dengan dugaan pelaku adalah oknum anggota kepolisian. Sampai saat inipun kasusnya masih belum ada perkembangan. Kemudian, sedikitnya 4 jurnalis di intimidasi saat melakukan liputan di Wamena Jayapura dan Papua menjadi tempat yang “rawan” untuk para jurnlis menjalankan pekerjaannya.

Selain itu, ada potensi kekerasan yang meningkat pada saat pemilukada di tahun depan. Kekerasan bisa terjadi karena media menyoroti beberapa calon dan dianggap suatu hambatan oleh para pendukung salah satr calon.

Masa depan penyiaran dalam pertaruhan, ada beberapa catatan penting yang dicatat oleh LBH Pers terkait proses perizinan ir Pertama, penyelenggaraan EDP yang dilakukan KPl tidak mencerminkan fungsi KPl sebag wujud peran serta masyarakat untuk mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingz masyarakat akan penyiaran. Kedua, Penerapan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) bagi 10 lembaga penyiaran swasta.

Selain itu, kesejahteraan jurnalis juga di abaikan. Jurnalis adalah selayaknya pekerja yang juga mempunyai hak minimal yaitu sesuai dengan standar undang-undang ketenagakeriaan di Indonesia. PHK dan ditinggalkan pemilik perusahaan media masih mewarnai tahun 2016.

Kasus yang saat ini ditangani adalah kasus sengketa tenaga kerja dan juga pidana perburuhan adalah kasus jurnaiis Indonesia Finance Today. Sedikitnya yang mengadu dan menandatangi kuasa kepada LBH Pers beriumlah 17 orang. Adapun proses upaya hukumnya saat ini sudah kepada tripatit yang ke tiga di Sudinakertrans Jakarta Selatan, namun sayangnya sampai detik ini pihak perusahaan enggan “menghampiri” jurnalis/pekeria dan kuasa hukumnya untuk menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan.

Kebebasan berekspresi UU ITE bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi. Cita-cita untuk memiliki perlindungan hukum terkait tata kelola internet yang paripurna kembali gugur. Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang seharusnya menjadi momentum perubahan untuk menciptakan regulasi pemanfaatan teknologi yang berperspektif hak asasi manusia, justru membatasi aktivitas masyarakat sipil di dunia maya.

Meskipun telah melalui dua kali rapat kerja dan lima kaii rapat panitia kerja Komisi 1 DPR. Pembahasan RUU Perubahan ITE masih menghasilkan regulasi yang berpotensi melanggar kebebasan berekspresi pengguna internet dan kemunduran dalam hukum acara pidana. Namun poin perubahan RUU ITE sejatinya belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dan dukungan atas pertumbuhan informasi dan teknologi digital, Hasil akhir amandemen tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan inti yang lahir dari UU ITE.

Potensi ancaman kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di RKUHP, banyak pasaI-pasal di dalam KUHP yang berpotensi melanggar kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers, seperti PasaI 328 dan 329 tentang contempt of court 284 tentang penghinaan terhadap pemeritahan, 290 tentang penghasutan untuk meIawan penguasa umum dan PasaI 302 tentang Penyadapan.

Kemudian, Pasal 309-310 tentang penyiaran berita bohong dan berita yang tidak pasti, Pasal 348,349 tentang penghinaan terhadap agama, Pasal 381 tentang mengakses komputer atau sistem elektronik tanpa hak dan PasaI 407 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau Iembaga negara.

Selanjutnya, pasal 469-473 tentang pelanggaran kesusilaan di muka umum, PasaI 481 tentang Mempertunjukan pencegahan kehamiIan dan pengguguran kandungan, Pasal 541-548 tentang penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah, PasaI 551 tentang Tindak Pidana Pembocoran Rahasia, PasaI 644 tentang Penyiaran berita bohong untuk keuntungan, dan Pasal 771 tentang tindak pidana penerbitan dan percetakan.

Makin Memburuk?

Menurut penulis, era kebebasan pers saat ini sebenarnya tidak memburuk terbukti dengan terus berkembangnya dunia bisnis di sektor industri pers ini. Kalaupun ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait kebebasan pers, harus diyakini dan dipahami oleh komunitas media massa bahwa regulasi tersebut dibuat bukan untuk mematikan kebebasan pers, melainkan upaya pemerintahnya agar kebebasan pers yang tercipta di Indonesia adalah kebebasan pers yang dewasa, bijaksana dan bertanggung jawab.

Terkait dengan kasus kekerasan yang menimpa kalangan jurnalis, sebenarnya dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku, namun komunitas jurnalis di Indonesia juga perlu melakukan kontemplasi mengapa hal ini bisa terjadi? Kalau kekerasan terhadap jurnalis disebabkan karena kurang profesionalnya jurnalis, tidak diindahkannya kode etik wartawan Indonesia oleh kalangan jurnalis itu sendiri atau karena faktor-faktor yang terkait dengan profesi jurnalisme.

Maka, hal ini harus menjadi momentum bagi industri pers untuk meningkatkan keprofesionalan anggotanya melalui ujian sertifikasi menjadi jurnalis bahkan perlu ada ujian apakah perusahaan pers masih layak beroperasi ataukah tidak. Jangan sampai kebebasan pers di Indonesia menjadi sarang berkembangnya jurnalis abal-abal atau tidak jelas. *

Penulis adalah Pemerhati Masalah Pers, tinggal di Serang Timur, Banten