Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jangan Asal Revolusi
Oleh : Redaksi
Rabu | 18-01-2017 | 16:50 WIB
revolusi.jpg Honda-Batam

Ilustrasi revolusi mental. (Foto: Ist)

Oleh Ardian Wiwaha

KEMBALI menyikapi dan menjadi tanda tanya besar di kalangan mayarakat terkait dengan isu rencana revolusi yang akan diselenggarkaan oleh beberapa kelompok ormas. Entah hanya isu atau pemanfaatan keadaan oleh segelintir kelompok kepentingan, perihal penyelesaian kasus penistaan agama oleh Ahok, naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tingginya tarif kepengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), hingga kenaikan harga cabai sekalipununtuk mekontra eksistensi pemerintah.

 

Terlebih semakin menghangatnya isu eksistensi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan isu Tenaga Kerja Asing (TKA) ilegal Cina di era pemerintahan Presiden Jokowi seolah menjadi ujung tombak beberapa kelompok untuk mendeskreditkan pemerintah dan melancarkan rencana pergerakan revolusi di negeri ini.

Mengutip pengertian revolusi dari beberapa sumber, secara umum revolusi diartikan sebagai perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Perubahannya pun dapat terjadi karena perencanaan dan/atau tanpa direncanakan terlebih dahulu sehingga ukuran kecepatannya cenderung relatif.

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revolusi dimaknai sebagai perubahan ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan seperti perlawanan senjata. Sedangkan dalam definisi yang lebih sempit, revolusi umumnya dipahami sebagai perubahan politik, misalnya revolusi Perancis yang mengubah wajah dan sistem ketatanegaraannya menjadi lebih demokratis.

Mengartikan dampak yang akan dihasilkan oleh sebuah revolusi, publik perlu memahami arti dan spesifikasi perihal lokus dan fokus apa yang menjadi tema atau perihal sebuah objek yang akan menjadi pergerakan revolusi.

Seperti revolusi industri pada abad ke-14 silam, masih teringat jelas bahwa pemaknaan pergerakan tersebut cenderung kepada aspek penggunaan teknologi pada bidang ekonomi, yaitu dari ekonomi agraris (pertanian) ke ekonomi industri dengan menggunakan tenaga mesin dan tidak lagi menggunakan peralatan manual yang mengandalkan keterampilan tangan.

Sehingga banyak pro dan kontra menyikapi perubahan tersebut. Karena disatu sisi kemudahan dalam memproduksi barang secara efektif dan efesien dari segi waktu dan bahan mentahnya juga selaras dengan meningkatnya jumlah pengangguran dikalangan masyarakat sebagai dampak tergantikannya tenaga manusia dengan mesin.

Berbeda dengan revolusi Perancis, yang mana fokus dan lokus pergerakan tertuju pada sistem ketatanegaraan. Tak ayal apabila revolusi tersebut cenderung tertuju pada penolakan sistem ketatanegaraan yang dibangun dan diperintah oleh Louis XVI kala itu, karena sistem yang ada cenderung bersifat monarki absolut, diktaktor, dan jauh dari kata kompeten dalam mengatasi krisis dalam negeri yang berkepanjangan.

Namun demikian, penolakan terhadap hal tersebut tak sedikit memakan korban, meskipun dapat dikatakan berhasil merubah sistem yang ada, tak sedikit limpahan darah dan nyawa korbannya.

Revolusi untuk Indonesia?

Sungguh naif dan menyedihkan tatkala beberapa kelompok ormas gencar menyuarakan rencana revolusi di negeri ini. Kekecewaan terkait kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, hingga meningkatnya biaya kepengurusan STNK pun dijadikan ujung tombak untuk menusuk pemerintah. Terlebih dugaan isu hoax tekait maraknya perkembangan PKI dan isuTKA ilegal asal Cina yang semakin gencar dimanfaatkan kelompok kepentingan oposisi pemerintah guna seolah memang dibenarkan eksistensinya.

Hal yang wajar apabila di zaman serba gadget saat ini, kita selaku publik harus senantiasa berpikir cerdas dan dewasa. Memilah dan mengecek kebenaran informasi yang beredar dapat menjadi solusi guna mengatasi intesitas perkembangan informasi tanpa penyaringan. Disisi lain, tak salah juga apabila pemerintah mendengarkan aspirasi dari masyarakat dan memproses kebenaran terkait isu yang beredar. Karena solusi mencegah dinilai akan lebih baik ketimbang solusi memperbaiki.

Namun demikian, secara pribadi penulis mengajukan penolakan setegas-tegasnya terkait rencana revolusi yang digagas oleh segerombolan ormas yang kurang beradab dan bertata cara. Hal ini dikarenakan landasan konsitutsi bangsa Indonesia telah menyatakan bahwa negara ini adalah negara hukum, dan tata cara untuk menyampaikan aspirasinya pun telah diatur melalui peraturan yang secara tegas telah ditetapkan.

Lantas, mengapa jalan revolusi dan mengorbankan banyak darah dan nyawa cenderung dipilih tatkala jalan demokrasi yang lebih beradab dan santun telah disediakan. Apa maksud dan tujuan dari semua pergerakan ini? Inikah aksi yang diinisiasi dan diboncengi oleh kepentingan pihak asing ditengah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang semakin menjanjikan? *

Penulia adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia