Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jangan Dibalik! Ulama Dimusuhi, Preman Dijadikan Teman
Oleh : Irawan
Rabu | 18-01-2017 | 09:14 WIB
FahriHamzah3.jpg Honda-Batam

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menuduh Kapolri Jendral (Pol) Tito Karnavian tidak memahami sejarah sehingga berani mengatakan bahwa fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) berpotensi menimbulkan gangguan pada stabilitas keamanan nasional.

Tito, menurut Fahri, tidak tahu bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia terjadi karena ada karena adanya fatwa ulama.

“Menuduh MUI dan para ulama tidak berbhineka sama dengan tidak paham sejarah indonesia dan tidak paham posisi ulama dalam kemerdekaan. Tuduhan artinya juga tidak mengerti bahwa kemerdekaan diraih bangsa ini dalam suasana keagamaan yang kental,” ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2017).

Dalam pembukaan UUD 45, lanjutnya, tercermin hal itu sehingga dalam kalimat pembukaan tersebut tertulis “Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa”.

Hal Ini disadari betul oleh para pendiri bangsa sehingga kalimat tersebut dicantumkan dalam pembukaan UUD 45. ”Jadi suasana tahun 1945 itu memang penuh dengan suasana keagamaan. Saya rasa tanpa memang disadari tanpa rahmat Allah , Indonesia tidak mungkin merdeka dan tanpa peran ulama suasana seperti itu tidak mungkin ada,” tambahnya.

Dia pun menyarankan Kapolri dan jajaran kedepan untul lebih banyak melakukan konsultasi dengan para ulama sebagai penjaga umat khususnya umat Islam. Menurutnya, kapolri dan jajarannya agar tidak punya pandangan dan asumsi sendiri soal ulama.

“Supaya tidak punya pandangan dan asumsi sendiri, Kapolri dan jajarannya harus konsultasi dengan para ulama karena dalam hubungannya dengn negara ulama mendapat tugas fatwa sampai. Fatwa ulama tidak pernah dipermasalahkan sampai detik ini,” tegasnya.

Negara pun menurutnya bisa mendapatkan pemasukan sekitar Rp700 triliun dari berbagai instrumen keuangan sebagai hasil dari fatwa ulama.

”Instrumen keuangan mendapatkan keuntungan dengan fatwa ulama yang dicap halal oleh MUI. MUI jelas telah banyak membantu negara dan oleh sebab itu keberadaan mereka tidak saja penting tapi diperlukan dalam rangka membangun kehidupan bersama umat beragama,"

“Dan umat beragama itu komponen terbesarnya adalah umat Islam. Dengan berbagai fakta ini maka seharusnya kepolisian justru mesti bersikap positi kepada ulama. Jangan justru dibalik, MUI dianggap bermasalah, sementara preman dianggap teman.Ini bisa merusak keadaan,” tandasnya.

Sebelumnya Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian berpendapat fatwa yang dikeluarkan MUI akhir-akhir ini berpotensi menimbulkan gangguan pada stabilitas keamanan nasional.

Bukan saja Tito, Kapolda Jabar, Irjen (Pol) Anton Charliyan justru menjadi pelindung ormas GMBI yang diketahui justru membuat ricuh saat pemeriksaan Ketua Umum FPI, Habib Rizieq Shihab beberapa waktu lalu.

“Yang menarik, belakangan ini ketika fatwa memiliki implikasi luas dan berpengaruh ke sistem hukum kita,” kata Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dalam diskusi bertajuk Fatwa MUI dan Hukum Positif, di PTIK, Jakarta, Selasa (17/1/2017).

Ia mencontohkan dikeluarkannya fatwa larangan penggunaan atribut Natal bagi karyawan beragama Islam yang kemudian memicu berbagai aksi beberapa pihak yang melakukan sosialisasi di ruang publik hingga adanya aksi kekerasan di kafe.

“Ini menunjukkan fatwa bukan lagi dianggap pandangan halal atau haram. Tapi belakangan malah berkembang menjadi ancaman bagi keberagaman dan kebhinnekaan,” katanya.

Contoh lainnya, ketika ada isu dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki T. Purnama lalu MUI menerbitkan fatwa yang menyebutkan bahwa Basuki menista Alquran dan ulama.

Menurut Tito, fatwa tersebut memiliki dampak yang besar karena memunculkan gerakan mobilisasi GNPF MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI) dan membentuk opini masyarakat. “Akhirnya masyarakat termobilisasi seperti aksi 411, 212 yang cukup banyak terpengaruh sikap MUI,” paparnya.

Padahal, menurut dia, fatwa MUI bukan hukum positif yang disahkan Undang-undang. Menurutnya, fenomena tersebut menunjukkan fatwa MUI bukan lagi menentukan halal atau haram tapi juga menimbulkan dampak sekunder yakni mengancam kebhinnekaan dan kamtibmas.

Menurutnya, meski GNPF MUI berhasil memobilisasi massa dalam peristiwa Aksi Damai 212 dengan aman dan tanpa kericuhan, tapi aksi tersebut menunjukkan adanya gerakan yang mengarah pada intoleransi yang bertentangan dengan semangat kebhinnekaan.

“Meski (Aksi 212) aman, tapi membuka wacana baru tergerusnya mainstream Islam, menaikkan transnasional yang kurang pas dengan situasi kebhinnekaan kita,” ujarnya.

Untuk itu, ia meminta sejumlah pihak untuk tidak memanfaatkan MUI untuk mengeluarkan fatwa tertentu. “Kami menghormati MUI, tapi kami tidak menghendaki pihak tertentu memanfaatkan MUI mengeluarkan fatwa yang mengancam kebhinnekaan,” tegasnya.

Kendati demikian, pihaknya tidak membantah bahwa fatwa MUI berpengaruh cukup besar bagi kehidupan umat beragama di Indonesia. Contohnya dalam penerapan fatwa halal atau haramnya suatu produk makanan.

Editor: Dardani