Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

STNK dan BPKB Merupakan Komponen Dasar Pelayanan Publik

Pemerintah tidak akan Bisa Membungkam Suara Rakyat Jika Susah dan Lapar
Oleh : Irawan
Minggu | 08-01-2017 | 12:00 WIB
Asep-warlan2.jpg Honda-Batam

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, menegaskan, listrik, BBM, pangan, sandang, papan termasuk juga STNK dan BPKB adalah komponen dasar dari pelayanan publik yang diberikan negara pada rakyatnya.

Sehingga tidak seharusnya pemerintah mengambil keuntungan dari layanan wajib terhadap rakyat itu dengan menaikan harga-harganya melalui pajak dan sebagainya.

"Yang namanya listrik, BBM dan berbagai bentuk pelayanan negara terhadap publik adalah komponen dasar yang sangat penting dalam bernegara, termasuk juga mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok mulai dari pangan, sandang dan papan. Maka tidak seharusnya pemerintah mencari keuntungan dari layanan tersebut dengan menaikan berbagai macam pungutan dari rakyat," ujar Asep dalam keterangannya, Minggu (8/1/2017).

Dengan demikian, maka pemerintah tidak bisa mengatakan tidak mau melayani kalau rakyat tidak mau membayar lebih seperti kebijakan pemerintah saat ini.

”Di mana-mana memang di seluruh dunia, pajak adalah komponen penting dalam pembiayaan, tapi tidak bisa jika rakyat tidak sanggup membayar maka rakyat tersebut tidak dilayani. Tidak boleh mengkaitkan pelayanan negara dengan pendapatan negara dengan pola pikir seperti itu. Pelayan publik malah kalau perlu disubsidi seperti di negara maju," katanya.

Jika memang diperlukan, menurut Asep, negara bahkan bisa memangkas berbagai hal seperti belanja pegawai, investasi dan lain sebagainya demi untuk mempertahankan atau meningkatkan pelayanan publik.

”Negara boleh mengurangi belanja langsung untuk meningkatkan atau mempertahankan pelayanan publik, dan tidak boleh membebani rakyat dengan menaikan tarif pelayanan itu," katanya.

Rakyat, tegasnya, juga tidak akan teriak kalau kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya, seperti keadilan dan hukum bisa ditegakkan,dan tidak tumpul terhadap kawan tapi tajam sekali terhadap lawan. Rakyat tidak akan teriak jika kesejahteraan bisa diraih.

”Rakyat teriak itu karena memang pemerintah tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar akan keadilan, kesejehateraan dan lain sebagainya. Jangankan merealisasikan berbagai janji, sekedar menjalankan aturan yang ada saja, nampakya pemerintah kedodoran,” ujarnya.

Dengan sikap pemerintah yang seperti ini, lanjut Asep, wajar jika sekarang rakyat kemudian teriak karena kondisi kehidupan yang bukan membaik tapi malah mundur ke belakang. Pemerintah, menurutnya, tidak akan bisa membungkam suara rakyat jika susah dan lapar.

Dia pun meminta pemerintah memperhatikan hal ini karena ini adalah persoalan serius. Pemerintah juga tidak bisa menuduh pihak-pihak yang kritis sebagai pihak yang ingin makar.

”Rakyat teriak itu normal perut mereka lapar. Jangankan rakyat, ketika banyak pengamat yang dulu “kelaparan” kini mendapatkan jabatan, saat ini kita bisa melihat betapa tenangnya sekarang mereka. Jadi mudahnya itu, kenyangkan saja rakyat, maka dia akan diam. Sama seperti para aktivisi dan pengamat yang dulu sangat kritis dan kini ada di lingkaran satu istana, sekarang diam karena mereka sudah kenyang,” katanya.

Rakyat tidak akan mengkritik dan pemerintah tidak perlu khawatir dengan teriakan rakyat seperti di sosial media dan media anti main stream kalau pemerintah sekarang bertindak benar.

”Tapi kenyataannya, pemerintah sekarang seperti tidak punya arah. Nama-nama besar di kabinet yang dikatakan orang terbaik seperti Sri Mulyani saja seperti bingung,” katanya.

“Di mana terbaiknya kalau sekedar memotong anggaran, menaikan pajak dan lain-lain? Kita mau orang terbaik seperti Sri Mulyani itu mencari solusi yang tidak membebani rakyat. Kalau caranya seperti ini, maka anak sekolah juga bisa jadi menteri keuangan," imbuhnya lagi.

Rakyat ingin pemerintah menguasai substansi permasalahan dan agar pemerintah menguatkan konsolidasi. Pemerintah sebaikya jangan berbicara akibat, tapi bagaimana mencegah penyebabnya untuk mengurangi resiko. Pemerintah harus bisa menciptakan kembali harapan karena sekarang rakyat sudah kehilangan harapan.

"Orang banyak mengkritik, sosial media ramai, kaum nasionalis teriak dan sebagainya. Itu kan akibat. Sehingga harus ditangkap-tangkapi semua dengan tuduhan makar. Tapi harus mencari penyebabnya untuk mengurangi resiko. Sebabnya itu seperti pemerintah tidak efektif, tidak konsisten, tidak taat aturan dan sebagainya. Berbagai kebijakan juga tidak efektif, pembentukan tim saber pungli,pembangunan kereta cepat, apa efektnya?Ini harusnya jadi pemikiran serius,” tandasnya.

Seperti diketahui pemerintahan Jokowi menaikan tiga harga pelayanan publik seperti listrik, BBM dan biaya pembuatan STNK dan BPKB sebagai kado tahun baru. Hal ini menimbulkan kritik di mana-mana, karena Jokowi sebagai Presiden dan yang menandatangani PP yang menaikan biaya pembuatan STNK dan BPKB, justru mengaku tidak tahu seperti halnya kapolri dan Menteri Keuangan.

Namun hal itu dibantah oleh Wapres Jusuf Kalla, karena menurutnya, semua sudah terkoordinasi antara Presiden, Menteri Keuangan dan Kapolri.

Editor: Surya