Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dugaan Korupsi Bakamla Ancam Pertahanan Negara
Oleh : Redaksi
Kamis | 15-12-2016 | 16:38 WIB
kpk.jpg Honda-Batam

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan praktik dugaan korupsi pengadaan monitoring satelit di Badan Keamanan Laut mengancam pertahanan negara Indonesia.

"Pengadaan ini strategi untuk keamanan. Ini penting. Anggaran pertahanan negara dikorupsi bisa berdampak pada pertahanan," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif di Gedung KPK, Jakarta (15/12).

Dalam informasi yang diakses dari http://lpse.bakamla.go.id/, pengadaan monitoring satelit Bakamla untuk lima unit yang berlokasi di Tarakan, Ambon, Kupang, Semarang dan Jakarta. Nilai pagu anggaran sekitar Rp402,7 miliar. Nilai total HPS sekitar Rp402,2 miliar. Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan tahun 2016.

Pengadaan tersebut dimulai pada 9 Agustus 2016 sekitar pukul 22.26 WIB dan ditutup 7 September 2016. Terdapat 41 peserta lelang.

Pengadaan alat monitoring satelit merupakan satu dari tiga proyek yang digarap Bakamla di bidang Surveillance System. Dua proyek lainnya adalah long range camera beserta tower, instalasi dan pelatihan untuk personil Bakamla RI; dan pengadaan backbone coastal surveillance system yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS).

Peralatan ini sesuai rencana akan ditempatkan di berbagai titik di Indonesia. Selanjutnya peralatan ini akan terintegrasi dengan seluruh stasiun yang dimiliki oleh Bakamla RI dan dapat diakses di Pusat Informasi Maritim (PIM) yang berada di kantor pusat Bakamla RI.

Tugas dan fungsi Bakamla seperti diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 178 Tahun 2014, salah satunya, yaitu melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka terkait dugaan korupsi proyek tersebut. Keempat orang tersebut, kata Ketua KPK Agus Rahardjo adalah Eko Susilo Hadi Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla, HST dari pihak swasta, MAO pegawai PT MBI, dan FD Direktur PT MBI.

Menurut Agus, operasi tangkap tangan berlangsung pada 14 Desember 2016 sekitar pukul 12.30 WIB. Saat itu, HST dan MAO bertemu dengan ESH di kantor Bakamla untuk menyerahkan uang sekitar Rp2 miliar dalam pecahan dolar Amerika dan dolar Singapura.

"Usai penyerahan, penyidikan mengamankan HST, dan MAO di parkiran, lalu ESH dan uang di kantornya," kata Agus. Sedangkan FD, Agus tidak menjelaskan apakah ditangkap atau tidak.

Untuk pihak yang diduga memberi suap, yaitu HST, MAO dan FD, dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf A, dan Pasal 13 UU Tipikor. Sedangkan penerima suap ESH dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Dardani