Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kita Saudara, Kita Indonesia!
Oleh : Redaksi
Senin | 05-12-2016 | 15:26 WIB

Oleh Damarani

HARI ulang tahun kemerdekaan baru saja lewat. Namun, semangat kemerdekaan yang ada terkadang masih terasa kurang. Hari dimana kita bersuka cita merayakan ulang tahun kita yang ke 71 seharusnya dapat menjadi renungan untuk mengenang dan mengucap syukur atas kemerdekaan yang telah kita raih. Tapi apa benar kita telah merdeka?

 

Bahkan kita masih sering terlena dan tanpa sadar menyakiti satu sama lain hanya untuk memenuhi seonggok kepentingan yang tidak sepenuhnya berarti. Apakah ini makna dari bangsa yang satu dan merdeka?

Jika ditarik kebelakang, pengorbanan nenek moyang kita untuk mengibarkan bendera sang saka merupakan suatu kebahagiaan tiada tara walaupun harus dibayar dengan tumpahan darah. Nenek moyang kita berjuang mati-matian untuk Negara yang bebas dari jajahan dan keterpurukan.

Tak pernah sekalipun mereka mencoba mengeluh akan keadaan yang mencekam demi anak cucu mereka bisa menikmati apa itu makna merdeka dan bagaimana menjadi suatu bangsa yang utuh. Mungkin kita memiliki banyak perbedaan, tetapi kita tetap satu bangsa, bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia.

Dimulai dari warna kulit kita yang berbeda, budaya yang tak sama, bahasa yang saling melengkapi, dan masih banyak sekali perbedaan yang kita miliki. Namun, itulah yang menjadi salah satu identitas dari bangsa yang kuat dan dikenal dengan satu nama yang perkasa, Indonesia.

Dari keberagaman yang ada, tentu wajar apabila pemikiran kita juga turut beragam, apalagi bangsa kita menganut asas demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Pemikiran yang berbeda dan beragam bukan berarti sesuatu yang buruk, akan tetapi perlu dikembangkan menjadi sesuatu yang positif. Namun, saat ini banyak orang yang cenderung mengembangkan ide dan gagasannya ke arah yang negatif. Hal ini kemudian diyakini dan ditularkan pada orang lain sehingga menjadi suatu keyakinan yang mempengaruhi tindakan dan pola pikir pengikutnya.

Mungkin masih segar di ingatan kita tentang kasus OPM maupun gerakan separatis lain yang berawal dari pemikiran seseorang dan menimbulkan ketakutan, ketidak bebasan, kecemasan yang luar biasa, kelaparan, harta benda yang hilang, bahkan hingga pertumpahan darah.

Organisasi Papua Merdeka menjadi topik hangat yang banyak mencuri perhatian. Ketika kelompok OPM muncul di media-media Nasional dan Internasional, yang muncul pemberitaan aksi-aksi brutal yang dilakukan untuk melawan pemerintah dan tuntutan kemerdekaan bagi Papua Barat. Walaupun dengan tujuan memberikan kesejahteraan pada rakyatnya, gagasan dan pemikiran yang mereka miliki dituangkan dengan cara-cara yang salah justru berujung pada ketakutan dan rasa tidak aman.

Dimulai dari perang senjata tradisional, penembakan aparat setempat, kecaman untuk pemerintah, pembakaran dan perusakan fasilitas Negara, dan penyerangan warga sipil. Tidakkah kita merasa lelah dengan keadaan seperti ini ? Bukankah kita satu bangsa? Bukankah kita satu tanah air? Bukankah kita mencari kedamaian dan kesejahteraan? Ketakutan dan kesedihan merajalela hanya untuk mencari perhatian pemerintah yang tanpa kita sadari telah memberikan banyak perhatian. Mungkin inilah yang kita sebut dengan kurangnya kita mengucap syukur pada Tuhan bahwa kita melupakan bangsa yang selalu manaungi kita dengan teduh, bangsa kita sendiri, bangsa Indonesia.

Namun, dibalik banyaknya air mata yang pecah akibat semangat juang yang salah diartikan saudara kita, ternyata mampu menyadarkan banyak hati untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan bersimpuh pada NKRI. Pada tanggal 17 Agustus 2016,tepat setelah upacara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke 71 tahun di Mulia usai diselenggarakan, sebanyak 100 orang mantan anggota kelompok Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyatakan ingin kembali bergabung dengan NKRI dan menyatakan akan setia pada Negara. Mereka bahkan mengucapkan terima kasih pada pemerintah karena telah banyak melakukan perubahan dan menunjukkan kesungguhannya dalam merangkul rakyatnya.

Para mantan anggota OPM yang banyak berasa dari Tingginambut, Yambu, dan Mewuluk ini mengakui kesungguhannya untuk kembali pada Indonesia bukan berdasarkan atas paksaan dari pihak manapun, tetapi atas dasar kesadaran mereka sendiri setelah melihat tujuan mereka menciptakan masyarakat yang sejahtera telah banyak menjadi kenyataan dibawah bantuan pemerintah. Upaya mantan anggota OPM untuk “turun gunung” dan mengajak saudara-saudaranya untuk berhenti menuntut kemerdekaan merupakan hadiah tersendiri bagi kita, terlebih jatuh tepat di hari kemerdekaan Indonesia.

Dengan kembali bergabungnya mereka, menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah untuk menjadikan Indonesia, terutama tanah Papua menjadi jauh lebih baik lagi. Dengan begitu kedamaian dan ketentraman akan kembali tercipta, generasi muda di Papua akan dengan leluasa mencetak prestasi tanpa mengkhawatirkan jauhnya tempat menimba ilmu, suasana mencekam di tengah hutan, maupun rentetan senjata yang menghantui mereka setiap saat.

Dukungan pemerintah yang terus mengalir juga seharusnya dapat kita sambut dengan mendukung dan membantu pemerintah untuk mewujudkan cita-cita bersama. Hal ini diungkapkan pula oleh Bupati Puncak Jaya, Hanock Ibo yang bahagia setelah mendengar kesungguhan para mantan anggota OPM yang kembali bergabung setelah upacara bendera dilaksanakan. “Mari kita bangun Puncak Jaya bersama-sama sehingga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan” ucapnya.

Karena kita dialiri oleh darah yang sama, darah persatuan Indonesia, menjadikan kita saudara. Tak ada yang berbeda dari kita walaupun kita Papua, Kita orang Jawa, atau daerah manapun di Indonesia, kita akan terus bersaudara karena kita orang Indonesia. Bahkan telah diwakilkan dengan “Bhineka Tunggal Ika”.

Mereka yang bilang kita berbeda maupun kita bukan saudara hanyalah mereka yang takut melihat kita bersatu dan menjadi bangsa yang kuat, mereka hanya orang-orang yang iri akan keunikan kita, tentang indahnya persaudaraan kita, tentang banyaknya yang bisa kita lakukan apabila kita menjadi satu kesatuan yang utuh.

Sikap iri yang mereka miliki tanpa kita sadari memberikan pengaruh buruk dan menjadikan kita saling menyakiti satu sama lain, saling berburuk sangka pada saudara sendiri dan melupakan kenyataan bahwa kita saudara sebangsa, Bangsa Indonesia.*

Penulis adalah Peneliti LSISI Jakarta