Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Waspadai Upaya Pemecah Belah Umat
Oleh : Opini
Senin | 28-11-2016 | 15:14 WIB
kompak.jpg Honda-Batam

Ilustrasi persatuan anak bangsa. (Foto: Ist)

Oleh: Ferdiansyah

SEBUAH bom molotov meledak di halaman gereja Oikumene di Samarinda. Aksi teror terjadi sekitar pukul 10.00 WITA ketika jemaat baru saja usai melaksanakan ibadah di hari minggu, kemarin (14/11).

 

Aksi teror bermula setelah jemaat yang selesai melaksanakan ibadah, berjalan keluar dari gereja. Tiba-tiba datang orang tak dikenal melemparkan sesuatu yang diduga merupakan bom molotov. Pelaku langsung melarikan diri dan melompat ke Sungai Mahakam. Akan tetapi, naas pelaku berhasil ditangkap oleh warga yang selanjutnya diserahkan ke pihak Polsek Samarinda Seberang untuk diselidiki lebih lanjut motif tindakannya.

5 orang luka-luka akibat insiden keji ini dan kesemuanya kini menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Abdul Muis Samarinda. Informasi diketahui bahwa pelaku bernama Juanda, mantan narapidana teroris kasus bom Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek), Tanggerang dan bom buku di Jakarta tahun 2011 silam.

Sontak teror ini mendapatkan kecaman dari banyak pihak. Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Zainut Tauhid mengutuk dengan tegas pelaku peledakan bom molotov, karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan Pancasila. Tindakan ini jelas mengusik kerukunan umat beragama. Hal senada juga disampaikan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan bahwa aksi teror merupakan tindakan yang tidak beradab dan tidak patuh terhadap konstitusi, sehingga harus ditindak tegas.

Aksi pelemparan bom molotov di Samarinda merupakan sebuah bentuk teror yang dilakukan oleh perseorangan ataupun kelompok yang ingin menciptakan kekacauan dan distabilitas terhadap keamanan nasional. Atribut baju bertuliskan jihad yang dikenakan pelaku dinilai sebagai upaya untuk memecah belah umat dan menciderai Islam sebagai agama yang rahamatan lil alamin.

Oleh sebab itu, sikap tidak mudah terprovokasi apalagi sampai men-generalisir suatu golongan akibat perbuatan oknum atau segelintir orang, penting dilakukan demi menjaga kerukunan umat beragama. Sikap kritis juga dinilai perlu agar bangsa ini tak mudah dipecah belahkan dengan isu-isu provokatif, mengingat negara ini dibentuk dari perkumpulan bangsa yang hidup berdampingan dalam kemajemukan.

Sejak negeri ini merdeka atau selama 71 tahun berlalu dan terus berlanjut hari demi hari, menunjukkan bahwa Indonesia mampu mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan yang bermakna bahwa meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetaplah suatu kesatuan.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan sebuah penggambaran bahwa persatuan dan kesatuan bangsa yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa, daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan menjadi satu kesatuan yang utuh di Republik Indonesia.

Kesatuan dan persatuan yang telah menaun terbentuk, ialah bukti bahwa perbedaan dapat disatukan dan hidup berdampingan di dalam kehidupan bermasyarakat, bebangsa dan bernegara. Nilai-nilai kesatuan bahkan telah ditunjukkan jauh sebelum diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia. Komitmen menjadi satu kesatuan tercatat dalam sejarah, yaitu Sumpah Pemuda, pada 28 Oktober 1928 yang kini telah menghasilkan buah manis yang kita nikmati, yakni pembebasan atas penjajahan dan perbudakan.

Upaya teror dengan mengatasnamakan suatu agama tertentu takkan bisa dengan mudahnya untuk dapat memprovokasi masyarakat ke arah pemecah belahan umat. Apalagi insiden teror hanya ditenggarai oleh segelintir orang bahkan perseorangan.
Seiring adanya peningkatannya taraf pendidikan di masyarakat Indonesia, mampu menciptakan generasi yang memiliki pemikiran kritis. Pemikiran kritis mampu menganalisis ide atau suatu gagasan secara sistematis, mengevaluasi dan membedakannya secara tajam, mengidentifikasi bahkan mengkaji dengan baik terhadap suatu peristiwa terjadi.

Pemikiran kritis merangsang timbulnya sebuah konsepsi perdamaian di masyarakat. Hal ini membantu meningkatkan kesadaran umum bahwa setiap orang mempunyai peran dalam memelihara kedamaian. Dengan kata lain, masyarakat menjadi semakin sulit untuk dihasut ke arah kebatilan dan merusak hubungan keharmonisan antar umat beragama yang telah lama terbentuk.

Kepribadian yang telah terpatri dalam kehidupan di masing-masing individu akan semakin menumbuhkan sikap toleransi dan meningkatkan solidaritas antar bangsa, budaya dan agama dalam wadah sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. *

Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Politik