Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Desa-desa Ini Penuhi Energi dari Sumber Lokal Ramah Alam
Oleh : Redaksi
Sabtu | 12-11-2016 | 09:17 WIB
desa-desa-ini1.jpg Honda-Batam

Warga bersama-sama membangun PLTMH Wae Rina, Flores, NTT, guna pemenuhan energi listrik mereka. (Foto: Romo Marselus Hasan)

FLORES, Nusa Tenggara Timur, bisa berbangga. Mereka punya pembangkit listrik dari sumber-sumber terbarukan yang diperoleh dari lingkungan sekitar dan dibangun secara swadaya masyarakat. Bagaimana ceritanya?

Bermula dari inisiatif seorang pendeta bernama Marselus Hasan. Romo Marselus, begitu dia biasa disapa, punya kegelisahan saat melihat warga Desa Reno, Kecamatan Poco Ranaka, Flores, setiap hari tak bisa menikmati penerangan dengan baik.

"Hampir setiap hari kami selalu berurusan dengan perbaikan generator," kata Marselus, suatu siang di Jakarta.

Suatu hari, Marselus mengisahkan, dirinya pernah membaca soal listrik tenaga air. Dia berpikir kenapa tak dicoba di Desa Reno, mengingat desa itu kaya air. Singkatnya, Marselus mempelajari sendiri dari internet, mencari teknisi ahli dan berdiskusi sana sini. Tujuannya hanya satu, membantu warga lepas dari masalah listrik.

Budi Wuyono, teknisi yang membantu Marselus, berdiskusi dengan pimpinan gereja lokal. Setelah gereja mendukung, tim Marselus mulai sosialisasi dengan masyarakat dan Dewan Paroki.

"Awalnya memang ada yang ragu. Setelah kami perlihatkan video bagaimana proyek ini berhasil di daerah lain, warga setuju," katanya.

Pada Juli 2012, proyek itupun dimulai. Kesepakatannya, warga dibebankan pembelian jaringan instalasi, kayu dan bahan lain untuk membuat bendungan, saluran air, bak penenang dan jalur pipa.

Untuk memenuhi ini, warga diminta patungan Rp2 juta per keluarga. Sedang, gereja bertanggung jawab pengadaan pembangkit dan tenaga ahli serta teknisi pelaksana.

Gereja lantas mengajukan pinjaman ke koperasi desa. Setelah dapat pinjaman dari koperasi, warga bergotong-royong membangun pembangkit. "Dalam empat bulan selesai," katanya.

Hasilnya, pembangkit swadaya masyarakat ini menerangi 134 rumah, satu puskesmas, satu pasar dan satu gereja. Mereka beri nama Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Wae Rina.

Tak ingin kesuksesan hanya sampai di sana, tim Romo Marselus bergerilya membantu desa lain. Hingga kini, tim ini telah membangun empat pembangkit. Tiga lainnya, PLTMH Wae Mese Wangkar di Kecamatan Sambi Rampas kini dimanfaatkan 400 keluarga, satu musola, satu puskesmas dan satu rumah gendang atau rumah adat.

Lalu, PLTMH Wae Laban Elar, telah dimanfaatkan 316 keluarga, satu musola, satu gereja, satu sekolah, satu kantor kelurahan, satu asrama dan puskemas dan satu kantor kecamatan.

Satu lagi, PLTMH Wae Lenger di Kecamatan Elar Poco Ranaka untuk 264 keluarga, tiga sekolah, satu Pustu dan tiga rumah adat.

Empat PLTMH dengan total kapasitas 260 KW ini dibangun dengan jenis turbin cross flow.

Sejak ada PLTMH, ucap Marselus, warga yang biasa menggunakan minyak tanah, bisa hemat hingga Rp230 ribu per bulan. Warga yang pakai genset, hemat hingga Rp860 ribu per bulan.

Selain itu, secara umum terjadi peningkatan ekonomi bagi warga yang sehari-hari menenun, ternak ayam ras atau babi atau membuat kue. Dengan pemanfaatan koperasi sisa hasil dan iuran pembuatan pembangkit listrik, juga jadi modal usaha warga yang jadi anggota koperasi.

"Secara sosial budaya, tentu ada penguatan komunitas dan semangat gotong royong warga. Terbangun solidaritas karena warga bersama-sama membangunnya," kata Romo Marselus.

Menurut dia, kendala utama membangun empat PLTMH terjadi di awal, saat harus mengumpulkan iuran per keluarga. "Pembangkit pertama, warga iuran Rp2 juta. Sekarang karena ada kenaikan harga bahan bakar minyak jadi Rp2.750.000 per keluarga. Ini cukup sulit bagi warga," katanya.

Tim Marselus memutar otak, mencari dukungan dana dari berbagai lembaga dan organisasi. "Terakhir, dapat dari UNDP dan Bank NTT," katanya.

Dari Bank NTT, selain pinjaman juga mengalir dana tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) untuk mendukung pembangunan pembangkit.

Setelah pembangkit berjalan, warga bisa merasakan manfaat dan bersedia membayar iuran bulanan.

Besaran iuran bulanan, katanya, berdasarkan jumlah bohlam lampu yang dipakai setiap rumah. Bohlam disediakan dengan kapasitas sama oleh pengelola pembangkit listrik.

Saat ini, katanya, tim perlu bantuan tiang dan jaringan serta instalasi pembangunan pembangkit berikutnya. "Jika ada pihak yang bersedia membantu, warga akan bangun koperasi dan membayar iuran bulanan."

Ke depan, Romo Marselus berharap bisa mengembangkan pembangkit listrik dari sumber daya lain, seperti biogas dan tenaga surya.

"Yang paling penting dari pengerjaan PLTMH ini adalah perubahan pola pikir masyarakat dari mental proyek ke mental membangun. Rakyat merasa memiliki dan mau berpartisipasi untuk membangun dan sekarang merawat serta mengelola dengan baik," ungkap Romo Marselus.

Energi Swadaya di Pulau Soberut

Cerita pemenuhan energi secara swadaya juga terjadi di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Warga sukses membangun Pembangkit Listrik Tenaga Bio Massa (PLTBM) di Desa Madobak, Matotonan dan Saliguma. Desa-desa ini kaya potensi bambu.

Untuk mencapai desa-desa ini perlu lima jam dengan sampan motor. Sebelumnya, warga harus membayar listrik Rp40.000 per kwh.

Dengan dana hibah, millenium challenge account (MCA) Indonesia, sebuah perusahaan pengembang, Clean Indonesia Power (CPI), memberdayakan masyarakat dan potensi bambu di tiga desa ini untuk membangun PLTBM.

“Kami masuk memperkenalkan pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan,” kata Jaya Wahono, Presiden Direktur CPI.

Mengapa bambu? Menurut Jaya, potensi pembangkit listrik dari bambu ini unik. Selain bambu bisa dihasilkan lokal, proyek ini berbasis masyarakat.

Masyarakat, katanya, tak hanya jadi konsumen juga produsen. Aspek keberlanjutan bambu lebih terjamin karena tanaman ramah lingkungan dan regenerasinya cepat. Ditambah lagi, Pulau Siberut, daerah tropis yang dapat hujan sepanjang tahun. “Jadi kita bisa tanam dan panen sepanjang tahun,” katanya.

Yoyok, warga Mentawai yang bekerja untuk CPI, mengatakan, konversi bambu menjadi listrik tak sulit. Setiap keluarga di tiga desa mengumpulkan bambu dengan jumlah telah disepakati masing-masing. Bambu yang dikumpulkan dipotong kecil antara 4-10 sentimeter, lalu dikeringkan selama tiga hari.

Setelah itu, bambu diangkut, dimasukkan ke power plant dan dikonversikan menjadi listrik yang bisa dipakai pukul 6.00-24.00.

"Karena masyarakat yang mengumpulkan bambu, proyek ini disebut proyek gotong royong. Ini tak hanya bisa diterapkan di Mentawai, juga daerah lain," kata Jaya.

Expand