Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kenapa Masih Ada Nelayan yang belum Tahu Perlindungan Asuransi?
Oleh : Redaksi
Sabtu | 05-11-2016 | 13:52 WIB
asuransi-nelayan1.jpg Honda-Batam

Nelayan bersiap dalam kapal yang sedang merapat di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Nelayan merupakan profesi yang riskan akan kecelakaan dan kematian, sehingga pemerintah berupaya memberikan asuransi nelayan. (Foto: Jay Fajar)

SEJAK UU NO. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam disahkan, banyak nelayan yang masih belum mengetahuinya. Terutama, tentang perlindungan atas resiko yang dihadapi saat melakukan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan usaha pergaraman seperti tertuang dalam Pasal 30 UU tersebut.

Di antara nelayan yang belum mengetahui itu, terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya di 6 kabupaten/kota yang mencakup Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Kabbupaten Lombok Utara, dan Kota Mataram.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim, mengatakan, selain di NTB, masih ada juga nelayan di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang belum mengetahui tentang jaminan asuransi untuk nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.

"Padahal, sudah ada mandatnya dalam pasal 30 UU Nomor 7 Tahun 2016,” ucap dia, Kamis (3/11/2016).

Menurut Halim, untuk bisa menjalankan mandat tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2016 tentang Jaminan Perlindungan atas Resiko kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“Namun, sayangnya, aturan ini belum terlaksana dengan baik di desa-desa pesisir,” tutur dia.

Halim kemudian menyebutkan, berdasarkan hasil riset yang dilakukan Pusat Dat dan Informasi KIARA pada November 2016, sedikitnya terdapat 1.000 orang nelayan kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam yang ada di 6 Kabupaten/Kota di NTB dan 1 kabupaten di NTT.

“KKP harus memperbaiki kinerjanya dalam melaksanakan perlindungan asuransi jiwa dan asuransi perikanan bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Mereka harus menggandeng pemerintah lokal di provinsi dan kabupaten/kota,” ungkap dia.

Adapun, Halim memaparkan, kinerja yang harus dilakukan KKP, mencakup dari persiapan, sosialisasi, pendataan dan verifikasi, pengusulan calon penerima asuransi, validasi, penetapan penerima asuransi, hingga pengajuan dan pembayaran klaim, agar penyimpangan kewenangan bisa dihindari.

Untuk diketahui, Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam memerintahkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk proaktif memfasilitasi nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam untuk memperoleh:

(a) kemudahan pendaftaran untuk menjadi peserta; (b) kemudahan akses terhadap perusahaan asuransi; (c) sosialisasi program asuransi terhadap Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, dan perusahaan asuransi; dan/atau (d) bantuan pembayaran premi asuransi jiwa, Asuransi Perikanan, atau Asuransi Pergaraman bagi Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, Pembudi Daya Ikan Kecil, dan Petambak Garam Kecil, sesuai dengan kemampuan keuangan negara”.

“Dengan perbaikan kinerja Kementerian Kelautan dan daerah, penyelenggaraan program asuransi jiwa dan perikanan akan menjangkau dan memberikan manfaat secara langsung kepada 2,7 juta jiwa nelayan, 3 juta jiwa perempuan nelayan, 3,5 juta jiwa pembudidaya ikan, dan 3 juta petambak garam hingga akhir tahun 2018,” tutup Halim.

Sebelumnya, KKP berjanji akan mengasuransikan 1 juta nelayan dari total 2,7 juta nelayan yang terdata di Tanah Air, terhitung mulai tahun ini. Untuk program tersebut, KKP siapkan anggaran sebesar Rp175 miliar

Menteri KP Susi Pudjiastuti mengatakan, jika sudah berjalan, setiap nelayan akan mendapat besaran asuransi Rp200 juta jika mengalami kecelakaan dan mengakibatkan pada kematian. Namun, jika kecelakaan berujung pada kecacatan, asuransi akan memberikan besaran Rp100 juta saja.

Selain kecelakaan, Susi menjanjikan, dari skema asuransi, nantinya akan ada asuransi biaya pengobatan sebesar Rp20 juta. Kemudian, untuk nelayan yang mengalami kecelakaan di luar aktvitas utamanya, maka mendapat asuransi sebesar Rp160 juta jika berujung pada kematian. Namun, jika cacat, dia mendapatkan Rp100 juta dan biaya pengobatan Rp20 juta.

Sementara, Pelaksana Tugas Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menjelaskan, anggaran yang digunakan untuk dana asuransi perlindungan nelayan, sepenuhnya diambil dari anggaran Pemerintah. Kata dia, walau nelayan mendapatkan asuransi, namun tidak sepeserpun biaya dibebankan kepada nelayan.

“Asuransi ini gratis. Diupayakan tidak berbelit-belit. Perlindungan juga diberikan kepada nelayan saat mereka kecelakaan di luar aktivitas melaut. Karena, nelayan ini pekerjaan yang belum diuntungkan, biasa terpinggirkan. Juga ada yang sakit tapi tidak ada akses untuk kesehatan. UU mengamanatkan perlindungan untuk mereka,” kata Zulfichar.

Tujuh Sorotan KADIN
Di tempat berbeda, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan menyoroti kinerja Pemerintah Indonesia dalam menerapkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

Menurut Wakil Ketua KADIN Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto, kehadiran Inpres tersebut harusnya bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan devisa negara. Namun, untuk bisa mewujudkannya, perlu komitmen yang kuat dari Pemerintah dan semua stakeholder terkait.

“Ada tujuh hal penting yang harus diketahui dan dipahami oleh semua pihak terkait Inpres tersebut. Dan itu penting,” ungkap dia.

Ketujuh hal itu, kata Yugi, adalah perlu adanya peningkatan produksi perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan hasil perikanan di seluruh Indonesia. Kedua, perlu ada perbaikan distribusi dan logistik hasil perikanan dan penguatan daya saing.

Ketiga, percepatan penataan pengelolaan ruang laut dan pemetaan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI), sesuai dengan daya dukung dan sumber daya ikan serta pengawasan sumber daya perikanan.

“Keempat, penyediaan sarana dan prasarana dasar serta pendukung industri perikanan nasional. Kelima, percepatan peningkatan jumlah dan kompetensi sumber daya manusia, inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan bidang perikanan,” jelas di.

Kemudian, kata Yugi, keenam, adalah perlu adanya percepatan pelayanan perizinan di bidang industri perikanan nasional. Dan ketujuh, perlu adanya penyusunan rencana aksi percepatan pembangunan industri perikanan nasional. (*0

Sumber: Mongabay.co.id
Editor: Yudha