Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kajian Investigatif Ombudsman RI

Akibat Kebijakan Jokowi, Investasi di Batam Jadi Stagnan dan Mundur
Oleh : Redaksi
Jum'at | 21-10-2016 | 14:38 WIB
laodeida.jpg Honda-Batam

Komisioner Ombudsman RI Laode Ida

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengganti manajemen Badan Pengusahaan (BP) Batam, membuat investasi di daerah perbatasan Singapura itu stagnan bahkan mundur.

Jajaran manajemen baru BP Batam di bawah Hatanto yang dibentuk awal tahun 2016 ini memang dikesankan memiliki integritas dan mungkin saja profesional dengan orientasi bisnis yang kuat.

Namun yang terjadi justru menciptakan kegaduhan baru baik dengan Pemkot Batam maupun di kalangan para pebisnis di daerah itu.

Hal ini tertangkap secara baik dan komprehensif oleh Ombudsman melalui kajian investigatif selama empat bulan terakhir, termasuk melalui diskusi terfokus (FGD) dengan stakeholders utama yakni para pebisnis, Pemprov Kepulauan Riau (Kepri), Pemko Batam, dan BP Batam kemarin.

Menurut Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida, ada beberapa faktor penyebab ketakkondusifnya pola hubungan dan investasi itu.

Pertama, personal level pimpinan BP Batam yang baru ini terdiri dari figur-figur baru yang scra relatif tak memiliki kaitan dengan manajemen lama.

Akibatnya, kebijakan mereka sepertinya tak mau tahu dengan masalah-masalah peninggalan manajemen lama. Ada juga investor yang sudah membayar lunas UWTO (uang wajib tahunan otorita) dan juga sudah ganti rugi tanah, tapi tak bisa membangun karena pihak BP Batam justru mengeluarkan izin pada investor lain.

Kedua, selama tugasnya yang sudah masuk bulan ke-10, manajemen baru sama sekali belum merealisasikan investasi. Tak ada satu pun permohonan investasi diwujudkan.

Pihak pengusaha menunjukkan dokumen bahwa sekitar enam ribu usulan investasi yang sudah masuk ke BP Batam, tak satu pun ditindak lanjuti.

Ketiga, dan ini yg paling memberatkan masyarakat pebisnis, terkait dengan kenaikan tarif UWTO yang mencapai 6000 persen.

“Luar biasa. Akibatnya, antara lain, ada beberapa rencana investasi yang terancam batal atau mengundurkan diri. Dan terkait yg terakhir ini, Presiden Jokowi pun menyatakan kekagetannya,” kata dia.

Keempat, maslah klasik hubungan tumpang tindih antara kewenangan BP Batam dengan Pemkot Batam.

Batam memposisikan diri sebagai wakil pemerintah pusat untuk kepentingan investasi, sementara Pemko Batam yang dibentuk berdasarkan UU No 53 Tahun 1999, memposisikan diri sebagai pemegang otoritas tertinggi di tingkat lokal, yang memang posisinya juga kuat sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda.

Maka tak heran jika pihak manajemen BP Batam merasa tak perlu mendengarkan aspirasi masyarakat, utamanya yang dikanalisasi melalui DPRD Kota Batam, karena menganggap bahwa BP Batam tak punya hubungan kerja dgn DPRD Kota Batam.

Ini juga sempat diungkapkan secara terbuka oleh pimpinan BP Batam di hadapan rapat di DPRD Kota Batam. Sebagian anggota DPRD dan masyarakat pun merasa tersinggung dengan sikap dan pernyataan itu.

Persoalan utama yang terus menjadikan berlangsungnya ketegangan dua lembaga itu adalah akibat tak kunjung dikeluarkannya PP yang terkait khusus hubungan antara Pemkot Batam dengan BP Batam.

“Padahal UU No 53 Tahun 1999 mewajibkan harus adanya PP dimaksud paling lambat 12 bulan setelah keluarnya UU itu,” kata Laode Ida.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, kata dia, maka mimpi mewujudkan Batam sebagai pusat investasi yang bisa dijadikan contoh dengan menarik pasar global, akan sangat sulit diwujudkan.

Semua masalah itu tentu saja harus diselesaikan satu per satu. Ombudsman sendiri, sebagaimana juga sudah dipresentasikan di hadapan Komisi II DPR RI, menganggap perlu ada redesign pengelolaan Batam dengan paradigma pengelolaan daerah/kawasan yang sudah teruji, dan yang terpenting sekarang adalah bahwa BP Batam menunda dulu atau meninjau kembali tarif baru UWTO.

Editor: Surya