Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Diminta Empati terhadap Pelaku Industri Hasil Tembakau
Oleh : Irawan
Rabu | 28-09-2016 | 15:50 WIB
misbakhun1.jpg Honda-Batam

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyayangkan ditutupnya pabrik rokok. Salah satu alasan penutupan karena kebijakan kenaikan cukai tiap tahun yang dilakukan pemerintah.‎

Misbakhun mengatakan, dampak kenaikan pajak terutama dirasakan pabrikan yang memproduksi kretek tangan (Sigaret Kretek Tangan).

"Dampaknya PHK massal terjadi di pusat-pusat industri hasil tembakau (IHT)," kata Misbakhun dalam rilisnya di Jakarta, Rabu (28/9/2016).

Misbakhun mengungkapkan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) semakin agresif melakukan penutupan pabrik rokok. Penutupan difokuskan pada perusahaan yang tidak patuh menyetor cukai hasil tembakau (CHT) ke dompet negara.

Data dari DJBC, sebanyak 3.915 pabrik rokok di seluruh Indonesia ditutup pemerintah selama kurun waktu 2007-2016. Penutupan dilakukan setelah menjalani pengawasan administrasi maupun fisik di lapangan.

Politikus Golkar itu meminta pemerintah berempati terhadap IHT. Sebab, IHT tengah menghadapi situasi pasar yang pelik setelah dijerat kenaikan cukai tahun lalu sebesar 12-16 persen.

Menurutnya, kenaikan cukai rokok tahun lalu membuat berkurangnya pangsa pasar. Namun yang lebih berat lagi adalah beban industri yang harus membayar cukai di muka pada tahun 2015.

"Saya berharap pemerintah berempati atas kondisi IHT saat ini. Dengan target kenaikan cukai rokok tahun 2017 sebesar Rp149,8 triliun sebagaimana pada RAPBN 2017, kondisi ini berat bagi industri," ujarnya.‎

Misbakhun mengatakan, "Dalam prosentase nilai tambah ekonomi, sektor IHT hanya mendapatkan porsi 13 persen dalam struktur keseluruhan volume, dan itu terus digencet oleh pemerintah. Sementara, pemerintah mendapatkan porsi 56 persen. Petani 11 persen. Sisanya pedagang perantara tembakau dan jalur distribusi hasil industri."

Dengan dalih meningkatkan penerimaan Negara dari sektor cukai, Pemerintah ingin menambah porsi perolehannya terus dengan menaikkan cukai rokok tiap tahun.

“Sungguh ironis, posisi IHT yang ditekan terus Pemerintah, tanpa pernah melakukan pembinaan apapun selain hanya sebagai pemungut cukai semata,” ucapnya.

Selain itu, dampak kenaikan cukai juga makin meningkatkan peredaran rokok ilegal. Menurut catatan, akibat rokok ilegal kerugian negara ditaksir hingga Rp9 triliun.

sementara, menurut data pemerintah, peredaran rokok ilegal masih sangat marak. Sepanjang 2016 ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat telah menindak sebanyak 1.300 kasus peredaran rokok ilegal.

"Makin tinggi nilai cukai, makin besar potensi kematian pabrik, dimulai dari golongan menengah ke bawah. Makin tinggi nilai cukai, makin besar potensi angka smuggling rokok," ujarnya.

"Kebijakan kenaikan cukai yang proporsional dapat menjaga pertumbuhan industri dan mengontrol smuggling," katanya lebih lanjut.

Misbakhun pun mewanti-wanti pemerintah, jangan sampai regulasi yang mengatur pengendalian tembakau, termasuk pungutan cukai hasil tembakau justru berpotensi mematikan keberlangsungan sektor ekonomi tembakau di Indonesia.

“Dalam konteks itulah, peran negara seperti ini harus diatur dengan regulasi yang melindungi industri hasil tembakau dan petani tembakau sehingga kemandirian ekonomi sebagaimana cita-cita pemerintahan Jokowi-JK dapat terwujud,” ujarnya.

Editor: Surya