Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Larangan Minol Berpotensi Hilangkan Pemasukan Pemerintah Rp6 Triliun
Oleh : Irawan
Sabtu | 24-09-2016 | 11:10 WIB
Danang-Girindrawardana2.jpg Honda-Batam

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik, Danang Girindrawardana.

BATAMTODAY.COM, Jakarta – Wacana pelarangan minuman beralkohol (minol) yang digulirkan pemerintah, dan saat ini telah masuk dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berpotensi mengurangi pemasukan pendapatan pemerintah hingga Rp6 triliun.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik, Danang Girindrawardana, mengaku terkejut dengan adanya upaya negara untuk mengatur pelarangan minuman berakohol. Danang pun menilai, negara mencampuradukkan masalah ekonomi dengan masala sosial.

"Fenomena sosialnya adalah banyaknya korban jatuh akibat minuman oplosan. Namun, minuman oplosan kan berbeda dengan minuman alkohol resmi yang dapat dibeli di hotel atau supermarket,” kata Danang dalam rilis yang diterima BATAMTODAY.COM di Jakarta, Sabtu (24/9/2016).

Mantan Ketua Ombudsman ini menjelaskan, dalam penyusunan kebijakkan publik haruslah memiliki basis data yang kuat. Jika basis data salah maka akan menyebabkan kebijakkan yang tidak sesuai. "Hal sosial dan hal pertumbuhan ekonomi tidak dapat dicampuradukkan," ujarnya.

Ia juga meminta DPR dan pemerintah berhati-hati dalam membahas RUU minol di tengah ekonomi negara yang belum membaik. Sebab, cukai minol pada APBN 2017 dipatok Rp6 triliun dan di tahun 2019 akan dipatok Rp9 triliun.

Danang mengigatkan, jangan sampai ada pelarangan, karena dampaknya sangat luas. Baik produksi, distribusi, konsumsi, tenaga kerja dan sebagainya sehingga tidak ada kepastian hukum. "Itulah yang akan menjadi ancaman bagi investor," ungkapnya.

Ketua Panja RUU Larangan Minuman Beralkohol, Arwani Thomafi, menegaskan, dalam perkembangannya, pembahasan RUU Minol di Panja terdiri atas 4 cluster, yaitu larangan total terhadap minol seperti di Aceh; larangan dengan pengecualian; larangan tapi dalam kondisi tertentu diperbolehkan; dan tidak perlu ada larangan melainkan cukup dengan pengendalian atau pengaturan.

Menurutnya, pengaturan minol dalam RUU ini adalah sebagai payung hukum. Sebab, ada Perda dan Pergub di masing-masing daerah yang berbeda dalam menyikapinya. Tapi kesimpulannya, ada pengaruh negatif minol di masyarakat, baik kesehatan maupun kriminalitas, sehingga perlu dicari titik temu dari pengaruh negatif tersebut.

Selanjutnya, pelarangan dalam kondisi tertentu dinilai tidak menjamin adanya kepastian hukum. Karenanya, RUU itu berusaha meminimalisisasi dan itu tidak mengganggu kepentingan investasi, karena ada pasal-pasal pengecualian dan diperbolehkan untuk kepentingan ritual agama tertentu.

Anggota Panja RUU Larangan Minuman Beralkohol DPR dari fraksi PPP, Achmad Mustaqim menjelaskan, jika berbicara mengenai kebutuhan dasar, pendekatan yang dilakukan oleh pihaknya adalah dari sisi filosofis, demografis, geografis, dan religius. Empat pendekatan ini menjadi bagian utama dalam konsep penyusunan awal RUU dari PPP.

Menurut Achmad Mustaqim pemerintah mengusulkan pengendalian dan pengaturan minuman alkohol. Namun ada juga yang mengusulkan menggunakan judul dari pemerintah namun ada bab khusus.
Dia menjelaskan, hingga saat ini pihaknya masih menerima berbagai masukkan dari seketariat panja ataupun pemerintah.

Hal yang juga dipertimbangkan oleh Panja adalah besarnya nilai impor minuman berakohol pada tahun 2014 yang mencapai hampir sekitar US$ 24 juta, sementara ekspor bahan dasar hanya sekitar 8 juta dolar. Selain itu, tempat produksi minuman berakohol juga menjadi perhatian dari panja.

Sementara Executive Committee Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI), Ronny Titiheru, menjelaskan, pihaknya mendukung sikap pemerintah untuk mengatur dan mengendalikan minuman beralkohol. Ronny melihat sebenarnya yang diperlukan saat ini adalah harmonisasi dari segala peraturan yang ada.

Para pengusaha di sektor ini juga sudah mematuhi semua aturan yang ditetapkan di tingkat pusat, seperti pembatasan produksi, distribusi dan konsumsi. Namun Ronny Titiheru mengingatkan, bagi pengusaha yang diperlukan adalah adanya kepastian hukum.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Tutum Rahanta. Menurutnya, pengusaha ritel harus patuh terhadap peraturan yang ditetapkan pemerintah. Namun, Tutum Rahanta mengingatkan harus ada kejelasan mengenai pelarangan yang dimaksud.

Bila itu adalah pelarangan total, maka industri minuman yang sudah berdiri sejak puluhan tahun dapat terkena dampaknya. Tutum Rahanta menjelaskan, untuk beberapa wilayah tertentu minuman alkohol memang sudah tidak dijual, namun dirinya berharap hendaknya untuk wilayah seperti Bali janganlah terjadi pelarangan.

Sementara menurut Anggota Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, bila menyangkut hak konsumen untuk mendapatkan keamanan dalam mengkonsumsi, maka itu berkaitan dengan informasi.

"Jadi, mengenai minuman berakohol, perlu dicantumkan kadar alkohol dan bila diperlukan adanya peringatan tambahan maka perlu dicantumkan juga. Sudaryatmo juga melihat seharusnya semangat dari undang-undang ini adalah pengaturan bukan pelarangan,” tegasnya.

Editor: Udin