Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

UU Larangan Mikol Bakal Ganggu Investasi
Oleh : Redaksi
Kamis | 22-09-2016 | 11:17 WIB
pemusnahan-miras.gif Honda-Batam

Polres Lingga Saat Musnhkan Mikol (Foto: Dokumen BATAMTODAY.COM)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) memastikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol (Mikol) dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia.

Executive Commitee GIMMI Ronny Titiheru memastikan, aturan yang belum jelas ini membuat tidak adanya kepastian hukum untuk menjamin minat investor di sektor industri minuman.

"Mereka akan menganggap industri yang sudah 85 tahun saja bisa terancam tutup dengan RUU ini. Ini membuat investor akan berpikir lagi untuk investasi di kita," ujar Ronny, Rabu (21/9/2016).

Tak hanya mengganggu iklim investasi, Ronny melihat, RUU Larangan Mikol perlahan-lahan dapat mematikan industri minol. Pasalnya, saat ini saja, pemerintah telah membatasi produksi dan distribusinya.

"Sekarang kami diberi kuota (produksi) oleh Kementerian Perindustrian, masing-masing pbarik ada batas maksimalnya sekian botol. Dari hulu sampai hilir sudah dikendalikan, sekarang ditambah larangan," jelas Ronny.

Ronny juga tak sependapat dengan alasan DPR yang membuat RUU Larangan Minol lantaran konsumsi mikol masyarakat Indonesia berada dalam level darurat. Pasalnya, angka konsumsi minol Indonesia justru jauh tertinggal dibandingkan Malaysia.

"Indonesia kecil sekali, hanya 1 liter per kapita per tahun sedangkan Malaysia jauh tinggi mencapai 15 liter per kapita per tahun. Jadi, tak benar kita darurat konsumsi mikol," ungkap Ronny.

Senada dengan GIMMI, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, RUU Larangan Mikol memang rentan mempengaruhi investasi di Indonesia sekalipun DPR merumuskan RUU dengan mempertimbangkan segala aspek.

Ketua bidang Kebijakan Publik Apindo Danang Girindrawardana menekankan, salah satu aspek yang justru harus diperhitungkan dengan matang dampaknya oleh pemerintah adalah sektor investasi.

"Investor itu hanya mempertimbangkan apakah lokasi itu mendekati sumber bahan baku, sumber daya manusia, dan pasar yang dibutuhkan. Tapi perlu diingat, mereka juga butuh kepastian hukum dan aturan yang jelas," ungkap Danang pada kesempatan yang sama.

Adapun menurut Danang, RUU Larangan Mikol hanya menambah panjang deretan aturan di Indonesia yang tidak efektif. Terlebih bila aturan tersebut tidak didukung oleh penegakan hukum yang tegas.

"Negara ini terlalu banyak aturan. Karena bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, aturan mereka jauh lebih sedikit tapi penegakan hukum mereka tinggi, kita justru sebaliknya," katanya.

Ia juga sepakat dengan Ronny, terkait pengendalian konsumsi alkohol di masyarakat. Namun, yang ditekankan adalah pengendalian penyalahgunaan mikol seharusnya diatasi dengan pengawasan konsumsi, bukan membatasi produksi dan distribusi.

Untuk pembatasan produksi dan distribusi, Danang menilai negara akan merugi bila tetap melakukan hal ini. Pasalnya, minol menyumbang penerimaan negara yang didapat dari cukai sebesar Rp6 triliun sesuai target Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 dan jumlahnya diperkirakan mencapai Rp9 triliun pada tahun 2019 mendatang.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan, industri minol akan semakin tercekik dengan kehadiran RUU Larangan Mikol.

Pasalnya, saat ini saja, industri minuman terus mengalami penurunan sejak diterbitkannya Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

"Aturan tersebut membuat penjualan minol hanya bisa dilakukan di hypermarket atau supermarket sedangkan minimarket dan pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual mikol. Ini menurunkan jangkauan distribusi minol dan merugikan pengusaha ritel," ungkap Tutum.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Yudha