Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Kembali Sejarah dan Perjuangan di Tanah Papua
Oleh : Redaksi
Kamis | 22-09-2016 | 10:02 WIB
danis-warior.jpg Honda-Batam

Ilustrasi bangsa Papua. (Foto: Okserba)

Oleh Ken Pamungkas

INDONESIA adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan total pulau sebanyak 17.508 pulau. Bahkan tiga dari lima pulau besar di Indonesia termasuk ke dalam kategori pulau terbesar di dunia. Ketiga pulau tersebut antara lain, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dengan wilayah yang luas dan sumber daya alam melimpah serta ditunjang dengan jumlah penduduk sekitar 254,9 jiwa dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar.

 

Dipersatukan oleh sumpah pemuda serta memiliki ideologi Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu jua), bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki rasa persatuan yang kuat walau dipisahkan oleh batas-batas geografis, ras, suku, dan budaya.

Namun belakangan ini banyak permasalahan yang berpotensi memecah-belah persatuan dan mengancam kedaulatan NKRI, seperti munculnya gerakan separatis di Papua. Pada dasarnya gerakan separatis di Papua muncul karena adanya kebijakan politik oleh beberapa kepentingan elit pada zaman pasca kemerdekaan NKRI. Setelah Jepang menyerah terhadap sekutu pada tahun 1945, terjadilah masa vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di Indonesia.

Momen tersebut digunakan oleh tokoh-tokoh besar di Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan. Pada 23 Agustus 1949 di Den Haag Belanda diadakan Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan kesepakatan bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia, kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke pangkuan NKRI 2 (dua) tahun kemudian.

Namun, setelah dua tahun tidak ada tindak lanjut dari Belanda terkait penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, bahkan pihak Belanda telah menjanjikan kemerdekaan pada rakyat Papua. Hal tersebut memicu bangsa Indonesia untuk berjuang sekali lagi agar dapat bersatu dengan saudara-saudara di tanah Papua. Setelah terjadi proses yang panjang serta perjuangan yang lama.
Berdasarkan Newyork Agreement pada tahun 1962, penyelesaian permasalahan Papua Barat akan diserahkan kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang selanjutnya menghasilkan referendum 1969.

Hasil dari referendum 1969 adalah masuknya Papua Barat ke dalam wilayah NKRI. Pihak yang kecewa atas hasil referendum kemudian mendirikan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Beberapa rakyat Papua yang telah dibawa oleh Belanda dan dijanjikan jabatan dalam negara Papua yang merdeka, ikut menyuarakan kemerdekaan Papua dari negara bunga tulip tersebut. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa terbentuknya OPM secara garis besar dilandasi oleh faktor politik.

Sekarang OPM telah melakukan langkah diplomasi untuk melakukan referendum ulang. Oleh karena itu, kelompok separatis OPM berusaha memengaruhi masyarakat internasional agar berpihak kepada mereka. Hal tersebut terjadi dengan eskalasi yang sangat lama namun hasilnya mengakar kuat dalam pemikiran beberapa rakyat Papua yang pada akhirnya menciptakan sebuah resistensi masyarakat Papua Pro-OPM terhadap pemerintah Indonesia.

Hal tersebut juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak asing yang menginginkan sumber daya alam yang ada di tanah Papua untuk memecah belah rakyat Papua. Ada yang mengatakan bahwa selama Papua masuk ke NKRI Papua akan semakin terpuruk, akan tetapi hal tersebut tidak didasarkan oleh fakta yang ada dimana kesejahteraan dan pembangunan di Papua telah meningkat sejak bergabungnya Papua ke Indonesia.

Ada pula yang mengatakan bahwa keuntungan SDA di Papua hanya dimanfaatkan oleh Indonesia tanpa ada timbal balik. Hal tersebut telah dibantah oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Beliau mengatakan saat ini dana APBN yang diberikan ke Propinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp 28 triliun atau hampir dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan hasil perolehan yang disetorkan oleh PT Freeport Indonesia tahun 2007 yang hanya sebesar Rp 16 triliun.

Menurut Wapres, dana yang diberikan ke Propinsi Papua baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) sebanyak Rp 20 triliun. Sedangkan untuk Propinsi Papua Barat sebanyak Rp 8 triliun. Artinya, seluruh (hasil) kekayaan alam Papua sudah diberikan seluruhnya ke Papua. Jadi tidak ada satu senpun yang digunakan oleh Jakarta (pemerintah pusat).

Pemerintah tidak main-main dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat Papua hal tersebut dapat dilihat dari adanya pemberian kewenangan otonomi khusus serta jumlah anggaran yang diturunkan ke daerah-daerah di Papua termasuk yang terbesar dari beberapa daerah lain di Indonesia. Hal tersebut bukan berarti pemerintah menganak-emaskan Papua namun karena setiap daerah di Indonesia memiliki kebutuhan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Selain itu pemerintah juga melakukan perbaikan dalam bidang pendidikan dan infrastruktur agar taraf hidup masyarakat Papua terus meningkat.

Pada tanggal 5-10 Desember 2015, Kemristek DIKTI membuat program kunjungan pendidikan ke daerah-daerah terpencil di Papua. Hal tersebut bertujuan untuk memantau, memperbaiki, dan mempublikasikan mengenai pendidikan anak-anak Papua yang masih memprihatinkan. Diharapkan hal tersebut dapat menyentuh hati nurani masyarakat Indonesia agar dapat bersatu untuk membantu saudara-saudara yang berada di tanah Papua.

Tokoh kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno pernah mengatakan “Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia…”.

Oleh karena itu sebagai generasi penerus, anak-anak muda Indonesia harus dapat merobohkan tembok separatisme yang menjadi penghalang antara OPM dan Indonesia, sehingga kita dapat berjabat tangan sekali lagi dengan saudara-saudara NKRI di tanah Papua, serta menyandang satu kebanggaan yang sama sebagai bangsa yang besar, yaitu Bangsa Indonesia. *

Penulis adalah Pemerhati Masalah Papua