Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Fahri Hamzah Kritik Inpres Penghematan Anggaran Jokowi
Oleh : Irawan
Selasa | 06-09-2016 | 17:14 WIB
fahrihamzah.jpg Honda-Batam

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penghematan Anggaran Kementerian dan Lembaga Negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016, menuai kritik di parlemen.

Berdasarkan Inpres yang diunggah melalui laman setkab.go.id, tercatat ada 83 dari 87 kementerian dan lembaga yang diminta menghemat anggaran pada APBNP 2016, dengan total nilai penghematan mencapai Rp64 triliun.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, penghematan anggaran seharusnya tidak dilakukan melalui Inpres, melainkan melalui APBN Perubahan tahap kedua.

Karena itu, Fahri menilai langkah Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres tersebut telah salah dan berpotensi rawan gugatan hukum lantaran menggunakan instrumen di bawah undang-undang.

"Pemotongan anggaran itu hak DPR, kuasa pembuat UU itu adalah DPR," kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/9).

Inpres tersebut menginstruksikan penghematan terutama pada belanja operasional, seperti biaya honorarium, perjalanan dinas, biaya rapat, iklan, pemeliharaan gedung, peralatan serta pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan, sisa dana lelang dan/atau swakelola, anggaran dari kegiatan yang belum dikontrakkan atau yang tidak akan dilaksanakan hingga akhir tahun, serta kegiatan yang tidak mendesak atau dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya.

"Jadi terus terang saya menyayangkan keputusan Presiden, ngatur-ngatur anggaran pakai Inpres kayak gitu, bahaya sekali. Ini preseden buruk bagi kita," katanya.

Perlu diketahui, Presiden Joko Widodo menerbitkan Inpres No.8 Tahun 2016 tentang Penghematan Anggaran Kementerian/Lembaga per 26 Agustus 2016 tersebut, dari 87 kementerian/lembaga yang ada, 83 kementerian/lembaga dipotong anggarannya, 4 lainnya tidak antara lain DPR, MPR dan DPD.

Harus melalui UU

Sementara itun Wakil Ketua MPR Mahyudin juga mengamini pendapat Fahri. Menurutnya, langkah penghematan atau pemotongan anggaran hanya dapat diubah melalui undang-undang.

"Kalau ada pemotongan anggaran, idealnya pemerintah mengajukan APBNP, jadi tidak bisa gunakan Inpres," kata Mahyudin.

Dengan angka penghematan yang mencapai Rp64 triliun, menurutnya pemerintah harus mengajukan APBNP 2016 jilid kedua jika memang ada pemotongan anggaran.

Di sisi lain, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menilai penghematan anggaran dalam APBNP 2016 merupakan domain pemerintah. Sebab hal itu sudah masuk dalam tataran pelaksanaan anggaran.

"Jadi ini tataran pelaksanaan teknis saja, pelaksanaan adjustment bagaimana anggaran itu bisa efisien terkait penghematan uang negara, kebijakan uang ketat disitu," ujar Taufik.

Menurutnya, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran yang bersifat teknis selama tidak terkait asumsi makro.

Anggota Badan Anggaran DPR Mohammad Nizar Zahro ketika pembahasan antara pemerintah dengan pihaknya, belum ada persetujuan terkait pemotongan anggaran.

Namun, ia menilai, Inpres terhadap 83 dari 87 K/L merupakan blokir mandiri (self blocking) atau meminta anggaran tidak dicairkan dalam rangka penghematan.

Dengan demikian, Nizar berpendapat dalam rangka penghematan anggaran, langkah Presiden Joko Widodo yang menerbitkan Inpres tersebut sudah cukup. Inpres, kata dia, diperlukan agar bisa menyesuaikan dan menjaga defisit anggaran tidak melebihi ambang batas 3 persen.

"Kalau melebihi 3 persen, melanggar UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara," ujar Nizar.

Dalam Inpres tersebut, hanya empat lembaga yang tidak terkena penghematan anggaran. Mereka adalah MPR, DPR, DPD dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Pada APBN 2016, MPR memiliki anggaran sebesar Rp768 miliar, DPR memiliki anggaran Rp4,7 Triliun dan DPD Rp 801 Miliar. Sementara Kementerian PPPA Rp707 miliar.

Sedangkan, penghematan tertinggi ditujukan kepada Kementerian Pertahanan dengan nilai sebesar Rp7,9 triliun. Sedangkan, penghematan terendah ditujukan kepada Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan sebesar Rp2,7 miliar.

Editor: Dardani