Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Lanjutkan Moratorium Perikanan Tangkap
Oleh : Redaksi
Selasa | 06-09-2016 | 15:36 WIB

Oleh Andreawaty

SEJAK diangkat Presiden Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Susi Pudjiastuti telah melakukan berbagai langkah tegas demi melindungi negara dari sejumah kerugian akibat banyaknya kapal asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia. Kebijakan yang diambil yakni melarang transhipment di tengah laut, mora¬torium kapal asing, dan menindak tegas kapal pencuri ikan.

 

Publik kemudian melihat aksi penenggelaman kapal ikan asing yang kedapatan mencuri ikan di perairan Indonesia. Susi beralasan selama satu dekade sebelumnya saat asing diperbolehkan berinvestasi di perikanan tangkap, pemerintah mengeluarkan izin kepada sekitar 1.300 kapal asing dari Cina, Vietnam, Taiwan, Jepang dan Thailand menangkap ikan. Namun dalam pelaksanaannya operasi kapal asing itu merugikan negara, mereka melaku¬kan transhipment di tengah laut kemudian mengangkut ikan ke negara masing-masing, sementara pabrik yang dibikin di dalam negeri ternyata abal-abal.

Kerugian lain yang negara alami adalah banyak perizinan kapal diduplikasi, dari hanya sekitar 1.300 izin yang dikeluarkan ternyata terdapat lebih dari 10 ribu kapal asing yang menangkap ikan di perairan kita. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari sektor kelautan hanya Rp 300 miliar, sementara itu sebanyak 115 pabrik pengolahan ikan di tanah air gulung tikar tidak mendapatkan pasokan bahan baku karena ikan langsung dibawa keluar negeri.

Dampak kebijakan yang diambil Kementerian KP sangat tepat, sumbangan sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2015 naik dua kali lipat dari tahun sebe¬lumnya menjadi 8.96 persen. Dampak lainnya adalah nilai tukar nelayan naik men¬jadi 110 dari tahun sebelumnya hanya 102, kemudian harga ikan menyumbangkan deflasi 0.42 atas penurunan harga.

Meskipun semua kebijakan yang ditempuh Kementerian KP berdampak positif, banyak pihak terus berupaya agar kebi¬jakan tersebut dianulir agar asing bisa bebas lagi menang¬kap ikan. Mereka antara lain oknum pengusaha, tokoh masyarakat, pejabat dan aparat yang diduga menerima komisi pengamanan dari kegiatan menangkap ikan secara ilegal. Mereka-mereka itu juga diduga secara sengaja memberikan masukan yang salah dengan argumen yang nampaknya masuk akal, agar MKP mau mengubah kebijkannya.

Belum lama ini Menko Kemaritiman yang baru, Luhut Binsar Pandjaitan mengeluarkan wacana agar kapal asing bisa menangkap ikan lagi di perairan Natuna. Luhut berpendapat karena illegal fishing semakin kecil keberadaan ikan di laut semakin banyak, jika tidak ditangkap kan sia-sia. Karena itu perlu memberikan kesempatan kepada investor asing ikut mengelola perikanan di Natuna yang potensi ikan lestarinya mencapai 1,14 juta ton per tahun.

Meski wacana yang dilontarkan Luhut ditentang berbagai kalangan, ada saja pihak yang mendorong agar Menko Kemaritiman itu segera merealisasikan wacananya, dengan target agar Menteri KP mengudurkan diri dari kabinet sesuai ancamannya. Kuat dugaan mereka yang sepakat dengan Menko adalah pihak-pihak yang dituding Menteri KP merupakan oknum dari pengusaha, tokoh masyarakat, pejabat dan aparat yang diduga menerima komisi penga¬manan dari kegiatan menangkap ikan secara ilegal.

Susi Pudjiastuti nampaknya kesal dengan wacana yang dilontarkan Menko Kemaritiman tersebut, dalam suatu kesempatan Susi menyatakan akan mengundurkan diri dari kabinet Jokowi/JK jika kapal ikan asing diperbolehkan menangkan ikan di perairan Natuna. Sikap tegas Susi Pudjiastuti patut diapresiasi, mengingat kerja keras yang sudah dilakukan bersama jajarannya mulai menunjukan dampak positif.

Saat ini Indonesia sudah masuk ke dalam 10 besar produsen cakalang dunia dari sebelumnya tidak, angka investasi di sektor kelautan dan perikanan pun menunjukkan tren kenaikan selama lima tahun terakhir sejak 2010. Susi sudah dikenal sebagai tipe menteri yang sulit diajak kompropmi dengan sesuatu yang dinilai berentangan dengan hati nuraninya, karena itu penulis yakin dia akan tetap mengundurkan diri dari jabatannya jika wacana yang disampaikan Luhut itu terlaksana.

Meski langkah membolehkan asing masuk tangkap ikan di Natuna agar sulit, karena pemerintah terlebih dahulu harus mencabut Perpres No 44 tahun 2016 yang menjadi dasar hukum pelarangan investor asing masuk ke usaha perikanan tangkap. Jika benar keinginan Menko adalah untuk menarik investasi di sektor perikanan memanfaatkan sumber daya ikan yang besar, kenapa harus pada perikanan tangkap. Bisa saja investor asing diarahkan pada sektor pengolahan sehingga tidak harus menabrak Perpres yang belum lama diterbitkan.

Melihat pada pertentangan antara Meko Kemaritiman dengan Menteri KP, bola kini berada di tangan Presiden Joko Widodo. Apakah Jokowi akan segera mencabut atau merevisi Perpres yang diterbitkan mengikuti keinginan dan harapan dari sejumlah pihak yang merasa gerah dan resah karena kehilangan pendapat akibat terbitnya Perpres tersebut dengan memanfaatkan kehadiran Menko Kemaritiman yang baru.

Di sini akan terlihat apakah benar Jokowi tetap berpihak kepada ekonomi kerakyatan seperti yang sering digaungkan dengan program Nawa Cita, atau terpaksa mengalah dan tunduk pada keinginan modal asing. Diatas segala-galanya, kita semua masih meyakini bahwa Presiden Jokowi tetap setia pada janjinya mendukung setiap kebijakan pro rakyat terutama nelayan dan petani serta pengusaha kecil dan menengah.

Masih teringat pertentangan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menteri KP Susi Pudjiastuti sebelumnya. Waktu itu Susi dengan tegas menolak permintaan Wapres untuk merevisi sejumlah kebijakan yang dilakukan kementeriannya. Konon permintaan JK didasarkan pada masukan yang diterima saat melakukan kunjungan kerja ke wilayah Indonesia Timur Indonesia. Dalam suratnya Wapres menyebutkan kebijakan Menteri KP mengenai moratorium, pelarangan transhipment dan pengaturan sertifikasi kapal telah mengakibatkan ribuan nelayan baik eks asing atau nasional tidak dapat berlayar dan menangkap ikan.

Akibatnya hasil produksi dan ekspor ikan sangat menurun, selain itu terjadi pula pengangguran pekerja di kapal dan pabrik pengolahan serta cold storage. Dampak lanjutannya, adalah angka kemiskinan dan pengangguran di Maluku dan Sulut meningkat, karena itu Wapres meminta menteri agar mau merevisi kebijakannya.

Namun ternyata Susi dengan tegas menolak permintaan Wapres yang disampaikan lewat Surat bernomor B02/Wapres/03/2016 perihal Tindak Lanjut Kunjungan Kerja ke Maluku dan Sulawesi Utara 16-18 Maret 2016. Menteri Susi bahkan beranggapan selain semua kebijakannya sudah mendapat restu dari Presiden, masukan yang diterima Wapres merupakan titipan dari pengusaha perikanan yang tidak benar.

Menko Luhut seharusnya bisa belajar dari kasus Wapres, jangan sampai publik menilai sejumlah alasan yang dikemukakan merupakan titipan dari pengusaha perikanan yang datanya tidak benar. Bahkan ada pihak yang menyatakan bahwa Luhut lebih berpihak kepada pengusaha dari pada memihak rakyat. Jika alasan untuk memanfaatkan sumber daya perikanan yang besar di Natuna, kenapa harus memanfaatkan asing.

Pemerintah seharusnya mempersiapkan dan mendorong nelayan lokal dari Pantura agar bisa menangkap ikan di perairan Natuna. Apapun alasannya, Presiden Jokowi harus tetap mempertahankan Perpres 44 tahun 2016, jangan biarkan asing masuk ke dalam perikanan tangkap, biar nelayan tradisional menikmati ikan yang berlimpah di sekitar perairan Natuna dan perairan lainnya di seluruh nusantara.

Penulis adalah Pemerhati Masalah Maritim Indonesia