Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

JIka Tak Mau Program Tax Amnesty, Silakan Ikut Pembentulan SPT
Oleh : Irawan
Kamis | 01-09-2016 | 15:53 WIB
Diskusi-Tax-Amnesty-.jpg Honda-Batam

Dialektika Demokrasi tentang Tax Amnesty untuk Siapa?

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR dari FPG Muhammad Misbakhun mengatakan, selama ini wajib pajak yang melaporkan untuk membayar pajak hanya sekitar 25-29 orang. Namun, dengan UU Tax Amnesty jumlah wajib pajak menjadi naik 38 persen, sehingga sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,3 persen.

"Untuk itu, pemerintah melakukan kebijakan dengan repatriasi (menarik uang di luar negeri ke dalam negeri), yang selama ini luput dari pajak. Sedangkan untuk menutup APBN kalau hanya mengandalkan uatng resiko politiknya besar, sehingga perlu Tax Amnesty, karenanya perlu sosialiasi tax amnesty in," kata Misbakhun di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/9/2016).

Dalam diskusi Dialektika Demokrasi tentang Tax Amnesty untuk Siapa? bersama pakar ekonomi INDEF Enny Sri Hartati mengatakan, jika wajib pajak ikut Tax Amnesty akan dikenai pajak 2 persen. Jika tidak, dipersilakan membereskan SPT-nya.

"Target Tax Amanesty itu Rp 165 triliun. Dengan UU Tax Amnesty, maka deklarasi Rp 4000 triliun dari dalam negeri dan Rp 1000 triliun dari luar. Dan, kini pemerintah dapat garansi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Rp 1000 triliun," katanya.

Dengan adanya jaminan dari pengusaha, menurut Misbbakhun, jika tidak membayar makan akan mendapatkan sanksi 200 persen.

"Untuk memenuhi target itu, maka pemerintah harus mempunyai manual books, ada keteladanan dari pengusaha, pejabat negara, maupun elit politik untuk mengikuti TA. Jadi, Tax Amnesty itu terkait dengan harta yang dimiliki masyarakat, dan bukannya penghasilan. Kalau penghasilan di bawah Rp 4,5 juta tidak dikenai pajak," kata politisi Golkar ini.

Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintah harus jujur terhadap persoalan yang dihadapi bangsa ini, karena TA belum mencapai target. Bahkan jauh dari target Rp 350 triliun. Menurut DJP yang masuk baru 79,8 % atau Rp 3,13 triliun (dari perorangan dalam negeri), non badan, dan non UMKM.

Padahal sebelum repatriasi selalu bilang ada 3000 perusahaan tak bayar pajak sama sekali. Faktanya, dana yang dijanjikan melalui repatriasi, tapi yang masuk tetap dari dalam negeri sebesar 79,8 % tersebut.

"Itu persoalan utama dan ini sudah berjalan dua bulan, yang selama sebulan sebelumnya hanya Rp Rp 300 miliar," kata Enny.

Enny menegaskan, pendapatan pajak selama ini hampir tak ada yang berasal dari luar negeri. Sehingga tak ada kepastian dan menimbulkan keresahan masyarakat sebagai implikasi hukum dari Tax Amnesty itu sendiri.

"Makanya, penjelasan bukan harta warisan, penghasilan di atas Rp 4,5 juta dan sebagainya itu tetap meresahkan masyarakat," katanya.

Enny menilai pemerintah tidak mempunyai basis data (data base) kependudukan. JIka semua dilaporkan dalam pengisian SPPT, maka itu persoalan administrasi yang belum beres. Karena itu, pembetulan SPT menjadi ancaman dan resikonya tak ada garansi, sehingga apabila gagal bakal banyak yang kenai penalti 200%.

"Padahal, apa yang kita beli seperti mobil, rumah, gaji dan lain-lain sudah kena pajak. Jadi, repatriasi ini gagal, BUMN yang menjadi sasaran tak bayar pajak, bahkan perorangan tak punya NPWP. Yang punya PTKP sekitar 75 juta orang, dan NPWP sekitar 35 juta orang, dan yang lapor hanya 9 juta orang," kata pengamat ekonomi INDEF ini.

Mestinya, selisih tersebut yang harus menjadi sasaran Tax Amanesty . Untuk itu, kata Enny, kuncinya adalah penegakan hukum dan basis data kependudukan dan perusahaan pembayar pajak.

"Jadi, carut-marutnya TA ini yang menimbulkan keresehan masyarakat, dan itulah yang harus dievaluasi pemerintah. Bahwa ancaman pada pengusaha tanpa data juga tak akan berhasil, dan kalau ini dibiarkan, pada 2017 akan terjadi kiamat pajak, yaitu pajak tak tercapai target, dan APBN akan selalu defisit," katanya.

Sehingga Enny minta kejujuran pemerintah mengenai data wajib pajak yang ikut Tax Amnesty . "Dulu pemerintah mempunya data yang lebih dan menjanjikan dari Panama Papers. “Itu yang seharusnya didata dan dikejar untuk membayar pajak. Kita jangan segera senang dengan uang masuk Rp 2 triliun (dalam negeri), karena pada triwulan ke depan akan terjadi multi efeks terhadap APBN. Bahwa tanpa perbaikan data bas, maka sama saja memaksakan berlakunya UU TA ini," katanya.

Editor: Surya