Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Wacana Dwi-kewarganegaraan, Menguntungkan atau Merugikan Indonesia?
Oleh : Redaksi
Selasa | 23-08-2016 | 11:50 WIB
nurdin-dan-istri-ok.jpg Honda-Batam

Gubernur Kepri, Nurdin Basirun, dan istri, Noorlizah Nurdin, yang merupakan Warga Negara Singapura (Foto: dok batamtoday.com)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wacana soal dwi-kewarganegaraan kembali mencuat dalam dua pekan terakhir setelah munculnya dua kasus yang hampir sama.

Arcandra Tahar, yang dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dicopot setelah 20 hari menjabat.

Status kewarganegaraannya dipersoalkan. Arcandra diketahui memiliki paspor Amerika Serikat.

Kasus lainnya, anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), Gloria Natapradja Hamel sempat tak diikutkan dalam pasukan saat upacara pengibaran bendera dalam rangka HUT ke-71 RI di Istana Negara, Jakarta, 17 Agustus lalu.

Status kewarganegaraannya juga dipersoalkan karena memiliki paspor Perancis, negara asal ayahnya.

Begitu juga dengan status istri Gubernur Kepri, Noorlizah Nurdin yang sampai saat ini masih berstatus Warga Negara Asing (WNA) asal Singapura.

Baca: Istri Gubernur Kepri Berpotensi Bocorkan Rahasia Negara

Ketiga kasus ini memunculkan wacana perlunya revisi UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pemerintah diminta mengkaji kemungkinan diperbolehkannya dwi-kewarganegaraan.

Jika dwi-kewarganegaraan diakomodasi, adakah keuntungan atau justru merugikan bagi Indonesia?

Tidak revisi total

Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, jika akan dilakukan revisi terhadap UU Kewarganegaraan, sebaiknya tidak revisi total.

Ia menyarankan agar dilakukan kajian mendalam serta menyisir pasal-pasal yang memang dianggap bermasalah dan tak sesuai dengan persoalan yang muncul saat ini.

"Revisi jangan revisi total. Lihat aturan, sisir pasal-pasal yang dianggap masalah dan tak sesuai dengan persoalan faktual," kata Hikmahanto dalam perbincangan "Satu Meja" yang ditayangkan Kompas TV, Senin (22/8/2016) malam.

Ia mencontohkan, salah satu yang perlu direvisi adalah Pasal 41 dalam UU Kewarganegaraan.

Pasal itu berbunyi, "Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan".

Sesuai ketentuan Pasal 41 itu, ada batasan waktu mendaftarkan diri bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun hingga tahun 2010. Mereka yang tidak mendaftarkan diri tidak punya kesempatan untuk mendaftarkan diri sebagai warga negara Indonesia.

Hikmahanto menegaskan, revisi UU terkait kewarganegaraan ini jangan dilakukan karena hanya mengakomodasi pihak dan kepentingan tertentu.

Ia juga sepakat jika revisi terkait aturan dwi-kewarganegaraan tidak secara utuh, melainkan selektif dan terbatas, misalnya kelonggaran bagi anak-anak yang lahir di negara yang menganut sistem ius soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran).

Expand