Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Buntut Kasus Arcandra dan Gloria

Pemahaman Hukum Lingkaran Istana Sangat Menyedihkan
Oleh : Irawan
Rabu | 17-08-2016 | 09:50 WIB
Asep Warlan.jpg Honda-Batam

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf 

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kasus dwi kewarganegaraan bekas Menteri ESDM, Archandra Tahar dan juga yang menimpa Gloria Natapradja Hamel, seorang pelajar SMA dan calon paskirbraka, sunggu memalukan rakyat Indonesia dimata dunia. Kasus ini pun membuktikan bahwa pemahaman hukum, terutama hukum kewarganegaraan di lingkaran Istana, termasuk Presiden Jokowi sangat parah atau menyedihkan.

 

Penilaian ini disampaikan pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (17/8/2016).

Asep melihat bahwa kasus Archandra dan Gloria jelas berbeda dan ini benar-benar memalukan rakyat Indonesia di dunia, karena memperlihatkan betapa konyolnya sikap para pengambil kebijakan di negeri ini.

"Parah benar kasus ini, karena pemahaman istana termasuk presiden terhadap UU jelas minim sekali," sindirnya sambil menambahkan bahwa dalam kasus Archandra jelas pemerintah dalam hal ini presiden sudah kecolongan, karena mengangkat seorang yang berkebangsaan asing menjadi menterinya.

Namun kesalahan Jokowi ini berlanjut dalam kasus Gloria dimana Jokowi justru tidak mengangkat seorang yang berhak menjadi paskibraka. Alhasil pelajar SMU yang masih berhak memiliki dua kewarganegaraan karena belum genap berusia 18 tahun dan belum menikah yang harusnya masih diakui sebagai warga negara seperti yang diatur dalam UU justru dianggap bukan warga negara, sehingga dia pun digagalkan untuk menjadi anggota paskirbraka.

Di sisi lain, Asep pun menyayangkan sikap para pembantu atau menteri-menteri di kabinet Jokowi yang menambah keruh permasalahan dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyesatkan. Seperti Mensesneg Praktino, Menkopolhukam Wiranto dan lain-lain yang begitu menggebu-gebu menegaskan dan membela bahwa Archandra bukan warga negara AS.

"Para menteri dan lainnya pun kemudian memberikan cap Gloria sebagai warga negara asing yang tidak berhak menjadi anggota paskirbraka.Ini kan konyol sekali," ujar Guru Besar Tata Negara ini lagi.

Karenanya Asep berharap Jokowi mau menganulir keputusannya untuk mengangkat Gloria menjadi anggota Paskirbraka karena memang Gloria masih warga negara Indonesia dan alasan yang dikemukakan bahwa Gloria tidak berhak sebaiknya dianulir.

"Kalau dalam kasus Archandra meski dengan basi-basi yang panjang, Jokowi akhirnya mau mengakui kesalahannya dengan memberhentikan secara hormat Menteri ESDM, Archandra Tahar, maka hal yang sama seharusya juga dilakukan Jokowi untuk menganulir keputusannya tidak mengangkat Gloria menjadi Paskirbraka," imbuhnya.

Dia pun berharap Jokowi ke depan untuk belajar dalam mengambil keputusan secarea baik dan prudent. Diharapkan juga Jokowi bisa memilih para pembantunya dengan cermat yang memiliki kemampuan adminstrasi yang baik.

"Kelihatan sekali bahwa mensesneg tidak memahami fungsinya. Ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Pemerintah bisa dianggap group lawak kalau seperti ini terus," tambahnya lagi.

Saat ini tegas Asep DPR sudah wajar untuk memangil presiden atas berbagai kekeliruan konyol yang terjadi dilingkungan istana. Masyarakat melalui DPR perlu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di lingkaran satu istana, yang membuat publik kehilangan kepercayaan.

"Saya rasa DPR perlu mengingatkan presiden dengan keras,supaya presiden tidak lalai.Kejadian Archandra dan Glorian ini konyol. Yang seharusnya tidak diangkat tapi diangkat, yang seharusnya diangkat tapi tidak diangkat," ujarnya.

Kepada lembaga legisltaif, Asep meminta agar bisa bersuara proporsional dan tidak asal menjilat pada presiden. Lembaga legislatif adalah lembaga yang memiliki fungsi pengawasan dan bukan seperti tukang stempel yang mengamini saja semua langkah dan keinginan penguasa seperti di era orba dahulu.

"Saya membaca Ketua MPR yang juga Ketua Umum PAN, Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar, semuanya sebelumnya membela keputusan Jokowi dengan alasan bahwa Archandra dibutuhkan dengan mengesampingkan hukum yang mereka buat sendiri. Ini konyol, zaman sudah berubah, lembaga parlemen harus bisa menjalankan fungsi pengawasannya dan bukan tukang stempel seperti jaman orba dulu lagi," tegasnya.

Dalam UU Nomor 12 tahun 2006 jelas diatur dalam pasal 4 huruf (d), "Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia". Gloria jelas mengacu pada pasal ini adalah warga negara Indonesia.

Bahwa dalam pasal 6 ayat 1 "dalam hal status kewarganegaraan RI terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya".

Sementara Archandra karena telah menjadi warga negara AS maka secara otomatis menurut UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan telah kehilangan status kewarganegaraan Indonesianya.

Pengangkatan Archandra sebagai menteri pun telah melanggar UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dimana menteri harusnya warga negara Indonesia, demikian Asep Warlan Yusuf.

Editor: Surya