Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Belajar dari Kasus Bentrokan Tanjungbalai
Oleh : Opini
Kamis | 11-08-2016 | 11:02 WIB
tawuran-ilustrasi.jpg Honda-Batam

Ilustrasi bentrokan massa. (Foto: Ist)

Oleh Sudirman Ali

LAGI bentrok antar warga yang diwarnai oleh konflik SARA (Suku, Ras, dan Agama) terjadi. Bentrok kali ini terjadi di Tanjungbalai, Sumatera Utara yang berujung pada pembakaran dan perusakan 2 vihara serta 8 kelenteng.

Aksi tersebut dipicu karena ada seorang wanita yang merasa terganggu dengan pengeras suara di masjid, sehingga muncul berbagai provokasi-provokasi di media sosial. Hal tersebut menyebabkan banyak warga yang geram dan melakukan pembakaran terhadap 10 rumah ibadah pada Sabtu (30/7/2016) dini hari lalu.

Meskipun tidak ada korban jiwa dalam aksi tersebut, sangat disayangkan apabila hal serupa masih sering terjadi di Indonesia. Dimanakah letak semboyan Bhineka Tunggal Ika? Apabila sedikit perbedaan saja dapat menyebabkan bentrokan. Hal serupa juga pernah terjadi di Papua, yaitu bentrok Tolikara tahun lalu, pemicunya juga sama, yaitu adanya warga yang merasa terganggu dengan pengeras suara yang digunakan untuk acara-acara keagamaan.

Meskipun aturan mengenai pemakaian pengeras suara di masjid-masjid telah diatur oleh Dewan Masjid Indonesia, akan tetapi masih ada saja masjid-masjid yang tidak mematuhi aturan tersebut. Di antaranya penggunaan speaker atau pengeras suara hanya boleh digunakan untuk panggilan adzan saja, apabila hendak digunakan untuk pembacaan ayat suci Al-Qur’an boleh digunakan dengan volume yang tidak terlalu keras dan tidak menggunakan kaset/ rekaman sehingga tidak mengganggu warga sekitar. Akibatnya ada warga yang tidak nyaman dengan hal terebut dan menjadi bibit-bibit konflik.

Menanggapi kejadian tersebut Menteri Sosial, Khofifaah Indar Parawansa menyebut ada pihak yang sengaja memprovokasi warga sehingga berujung pada kerusuhan di Tanjung Balai. Khofifah meminta para tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat agar mengawal komunitas masing-masing. Dengan begitu percikan-percikan konflik dapat diminimalisir sejak dini.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Irman Gusman, yang menghimbau kepada seluruh warga Kota Tanjung Balai untuk memperkuat persatuan dan kerukunan antar masyarakat pasca kerusuhan bernuansa SARA. Irman mengingatkan, konflik SARA merupakan problem serius yang dapat mengganggu keutuhan NKRI, karena itu semua warga harus bahu membahu dan bergotong royong untuk mematikan sumber-sumber konflik yang ada.

Dirinya pun menghimbau kepada pihak kepolisian untuk menindak tegas pihak-pihak yang terbukti melakukan provokasi dan memici kerusuhan bernuansa SARA. Sejauh ini sudah 9 orang diamankan oleh kepolisian, 7 di antaranya yang menjarah saat pembakaran, 2 lainnya yang merekam saat kejadian berlangsung.

Kerusuhan bernuansa SARA sudah sering terjadi di Indonesia, hampir setiap tahun selalu ada kejadian serupa dengan motif yang hampir sama. Hal tersebut terjadi karena sudah berkurangnya toleransi antar umat beragama, yang menyebabkan sedikit saja gesekan antar umat beragama dapat berpotensi menyebabkan konflik. Oleh karena itu, melalu tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat diharapkan dapat mengatur dan mengarahkan anggotanya agar gesekan-gesekan tersebut tidak berkembang menjadi konflik yang lebih besar.

Peran pemerintah setempat juga penting, dimana pemerintah daerah harus dapat mengakomodir semua kepentingan masyarakatnya secara adil dan bijaksana. Selain itu masyarakat juga turut mengambil peran dalam menjaga kerukunan umat beragama dengan meningkatkan toleransi terhadap agama lain yang sedang melakukan kegiatan ibadahnya. Apabila semua hal tersebut dapat dilaksanakan niscaya bentrok/rusuh antar warga yang melibatkan SARA tidak akan terulang kembali.

Di sisi lain, masyarakat juga sangat diharapkan untuk tidak percaya begitu saja dengan isu-isu provokatif yang beredar di media sosial. Masyarakat harus cerdas menyikapi isu-isu, khususnya isu yang berbau SARA karena hal tersebut merupakan isu sensitif yang dapat dengan mudah menyulut sentimen masyarakat dan biasanya berujung konflik. Tidak menutup kemungkinan bahwa isu tersebut sengaja disulut untuk memecah belah kerukunan antar umat beragama di Indonesia. *

Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Politik