Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kasus SARA Tanjungbalai Jangan Dianggap Sepele
Oleh : Irawan
Minggu | 31-07-2016 | 10:22 WIB
Mahfudzsiddig2.jpg Honda-Batam

Mahfuz Siddiq, Anggota DPR dari FPKS.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kasus konflik SARA terjadi lagi di Tanjungbalai Asahan, Sumatra Utara, yang melibatkan kelompok Melayu-Muslim vs Cina-Budha, tak boleh dianggap sepele. Ada potensi letupan konflik yang lebih besar dan luas.

"Jika itu terjadi maka bisa menjadi pintu kekacauan politik dan ekonomi baru di negeri ini," kata anggota Komisi IV DPR RI, Mahfuz Siddiq, dalam rilisnya, Minggu (30/7/2016).

Oleh karena itu, Mahfudz mengingatkan kepada Pemerintah harus segera lakukan dua hal. Pertama, melakukan penegakan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dan bertanggung jawab atas kasus tersebut. Lalu melakukan langkah pencegahan meluasnya konflik ke derah lain.

Dijelaskan mantan Ketua Komisi I DPR RI ini, soal tak boleh diaggap sepele dan berpotensi meluas, masing-masing. Pertama, konflik SARA sedang menjadi tren dunia. Kekacauan politik di kawasan Tiimur Tengah yang melibatkan beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat telah memunculkan kekuatan teror baru yang menakutkan, yaitu ISIS.

Buah dari rangkaian aksi teror yang terus berlanjut adalah menguatnya sentimen negatif terhadap islam dan ummat islam. Ini tercermin dari sikap politik kelompok ultra-nasionalis di beberapa negara Eropa,

"Sikap politik capres Amerika, Donald Trump, dan meningkatnya tekanan terhadap kelompok muslim di India dan Tiongkok misalnya," kata Mahfudz.

Lanjutnya, ada semacam cipta kondisi global untuk memosisikan Islam dan umat Islam sebagai musuh bersama. Dan pada saat yang sama ISIS dan unsur-unsur pendukungnya terus melakukan serangan terhadap siapapun yang dianggap lawan.

Kedua, menguatnya posisi dan peran politik kelompok minoritas yang mengusung isu anti-kemapanan. Keberhasilan partai politik ultra-nasionalis (sayap kanan jauh) menguasai pemerintahan dan mengubah kebijakan pemerintahan di sejumlah negara eropa menjadi bukti nyata.

Contohnya di Polandia, Italia dan juga kemenangan Brexit di Inggris. Menguatnya dukungan terhadap Trump juga menjadi indikasi tambahan. Kekuatan politik ini diprediksi akan mengusung isu yang berakibat meningkatnya konflik SARA di berbagai negara.

Ketiga, dalam konteks domestik Indonesia, kedua hal di atas juga sedang terjadi. Isu terorisme makin menguat dan tidak bisa dipungkiri bahwa isu ini menggiring opini luas bahwa Islam (umat islam) sebagai ancaman.

"Ruang demokrasi juga sedang mencuatkan posisi dan peran politik yg lebih besar kepada unsur minoritas. Sebut saja isu pilkada DKI. Kontestasi pilpres yang lalu pun sebenarnya tak lepas juga dari nuansa isu SARA," ," jelas Mahfudz.

Keempat, harus diakui bahwa Indonesia menyimpan riwayat konflik SARA yang panjang dan tetap menjadi bahaya laten. Faktor kesenjangan sosial-ekonomi tetap menjadi pemicu paling mendasar.

Kelima, ini yang perlu dicermati serius. Munculnya gejala arogansi dan kontroversi kebijakan yang dipersepsi oleh unsur mayoritas sebagai upaya untuk memenangkan agenda unsur minoritas.

"Sebut saja kontroversi penghilangan kolom agama di KTP, penghapusan perda "syariah", sejumlah kebijakan pemprov DKI yg dianggap merugikan kepentingan umat Islam plus sikap-sikap sang gubernur yg dinilai arogan," jelas Mahfudz.

Jadi, lanjut Mahfudz, kelima faktor skala global dan domestik ini bisa bercampur-aduk sedemikian rupa dengan aneka bumbu. Hal ini berjalan di atas realitas: Keberagaman masyarakat Indonesia, kesenjangan sosial-ekonomi yang menguat akibat problem ekonomi yg makin berat, riwayat panjang konflik bernuansa SARA, dan munculnya model kepemimpinan dan kebijakan yang dipersepsi sebagai pertarungan minoritas vs mayoritas.

Mahfudz melanjutkan, peristiwa Tanjungbalai (jika benar) diawali oleh protes seorang warga keturunan terhadap azan dari sebuah masjid. Suatu yang mengagetkan karena rasanya belum pernah terjadi sebelumnya.

"Apa yg mendorong warga tersebut melakukan protes yang memicu kemarahan? Dan kenapa reaksi balik dari ribuan warga lainnya begitu dahsyat? Kasus ini berpotensi menjadi apa bagi republik?" Tanyanya.

Kasus Tanjung Balai merupakan peluit peringatan yang sangat keras buat bangsa ini dan semua jajaran pemerintahan di pusat dan daerah.

"Pilihan kita adalah berpihak pada kesatuan dan persatuan bangsa. Tetapi negara harus menegakkan hukum terhadap siapapun yang terbukti merusaknya. Siapapun dia. Sambil negara memastikan bahwa dirinya mampu menjadikan Indonesia sebagai tempat hidup yang harmoni bagi semua anak bangsa.

Editor: Surya