Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ICW Cakap Negara Rugi Rp1,3 Triliun dari Sektor Kehutanan
Oleh : Redaksi
Jum'at | 29-07-2016 | 10:26 WIB
padamkan-api.jpg Honda-Batam

Seorang petugas Manggala Agni memadamkan api yang membakar lahan gambut milik warga di Dusun Limbung, Desa Sido Mulyo, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar (Sumber foto: CNN)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kepala Proyek Divisi Riset Indonesian Corruption Watch (ICW), Siti Juliantari, mengatakan Indonesia berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp1,3 triliun pada sektor Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) Sumber Daya Alam Kehutanan.

Siti menyatakan, potensi kerugian itu bisa terjadi karena ketidaksesuaian pencatatan dan penghitungan data produksi SDA Kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Dalam melakukan riset budget tracking pada sektor kehutanan, tim riset ICW mengakui sulitnya mendapatkan data produksi kayu dari pemerintah pusat maupun daerah. Padahal, tutur Tari, data penghitungan produksi dapat memengaruhi besaran penerimaan PNBP SDA Kehutanan yang berasal dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

"Selama tiga bulan melakukan penelusuran dana kehutanan, yang kami temukan itu malah adanya ketidaksesuaian antara data penghitungan produksi kayu KLHK, LKPP, dan BPS," ujar Tari di kantor ICW di Jakarta, Kamis (28/7/2016).

Hasil temuan ICW memaparkan, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2012-2014, negara hanya menerima Rp2,5 triliun dari PSDH dan Rp5,090 triliun dari DR.

Seharusnya, menurut Tari, negara memiliki potensi menerima anggaran Rp3,6 triliun dari PSDH dan Rp5 triliun dari DR. Hasil perhitungan tersebut, papar Tari, berasal dari perbandingan data LKPP dan BPS.

Tari juga menyatakan, data produksi kayu yang disediakan KLHK tidak komprehensif sebab tidak mencakup penghitungan jumlah produksi kayu pada level provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, tutur Tari, data KLHK yang ada tidak menyertakan jenis kayu yang diproduksi secara terperinci.

"Potensi kerugian dari PSDH Rp1,3 triliun karena kurang penerimaan, tapi di satu sisi penerimaan DR negara malah banyak. Ini dipertanyakan karena tidak sinkron. Apalagi datanya bukan dari KLHK," kata Tari.

Sementara itu, Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Juandi mengungkapkan, dari temuan BPK, diketahui bahwa KLHK masih sangat lemah dalam pengawasan terhadap pengelolaan, penghitungan, dan pendataan PNBP SDA Kehutanan, baik pada lembaganya sendiri dan daerah.

Lemahnya pengawasan KLHK ditengarai karena faktor otonomi daerah. Karena otonomi daerah, pemerintah daerah merasa tak harus melaporkan pendapatan bukan pajak SDA kehutanan kepada pemerintah pusat.

"Padahal saling lapor ini penting guna mensinkronisasikan data antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga bagi hasil dari PNBP SDA kehutanan bisa maksimal dan adil," kata Juandi.

Juandi mengatakan, setiap kota/kabupaten wajib menyerahkan Laporan Realisasi Penyetoran Iuran Kehutanan (LRPIK) dan Laporan Gabungan Realisasi Penyetoran Iuran Kehutanan (LGRPIK) secara berjenjang dari kabupaten, ke provinsi, dan ke KLHK.

Namun, dari 34 provinsi, hanya ada 10 provinsi yang menyampaikan LGRPIK walaupun tidak secara rutin setiap bulannya. Provinsi lain tidak pernah menyampaikan  LGRPIK sepanjang tahun 2015.(Sumber: CNN)

Editor: Udin