Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Lee Kwan Yew Serukan Warga Singapura Pertahankan Bahasa Inggris
Oleh : Magid
Rabu | 07-09-2011 | 13:20 WIB
leekuanyew-listening.jpg Honda-Batam

Mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kwan Yew. Foto:MediaCorp

SINGAPURA, batamtoday - Singapura sejak era kolonial memang dikenal sebagai kota perdagangan. Pada masa penjajahan Inggris, di negeri pulau ini berbagai etnis bercokol, dengan mayoritas 75 persen China - kanton, 14 persen Melayu serta 18 persen India. Keberagaman etnis yang ada membuat bahasa yang efektif digunakan kala itu adalah bahasa Inggris, namun dengan ciri khas mewakili etnis masing-masing. Sehingga pada akhirnya munculah Singlish atau sebutan Singapore English yang memadukan unsur China, Melayu dan India.

Demikian diceritakan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kwan Yew dikutip batamtoday dari MediaCorp,Rabu (7/9/2011).

"Ketika Singapura merdeka pada tahun 1965, kita memiliki populasi dengan berbagai dialek dan bahasa yang berbeda, ini merupakan hasil dari sistem pendidikan kolonial, tapi memiliki dampak yang baik bagi Singapura pada masa selanjutnya," katanya.

Demi masa depan Singapura terutama dalam kancah persaingan ekonomi Global, penggunaan bahasa Inggris dengan dialeg yang umum adalah sangat penting. Bahkan Lee menilai, negerinya dapat maju seperti saat ini adalah karena kecakapan penduduknya dalam menggunakan bahasa internasional, Inggris.

"Demi masa depan, pertahankan bahasa Inggris, meski dengan variasi dalam perkembanganya," pungkas Lee.

Jika dirunut kembali ke belakang, realitas politik dan kondisi sejak era kolonial membuat sebagian besar penduduk Singapura menggunakan bahasa Inggris, meski dengan ciri khas tertentu.

Lee menjelaskan,bahwa pilihan bahasa Inggris sebagai "lingua franca" di Singapura, memberikan kesempatan yang sama bagi semua etnis untuk, berkomunikasi dan bekerja. Namun pemerintah tetap memberikan kesempatan untuk menggunakan kebeijakan bilingual dengan harapan generasi penerus Singapura dapat mempertahankan bahasa ibu.

"Kami terus menjaga bahasa asli kita dengan kebijakan bilingualisme, memberikan peluang bagi masyarakat untuk mempelajari bahasa ibu, hal ini untuk membangun rasa memiliki budaya masing-masing serta meningkatkan rasa bangga terhadap etnis masing-masing dengan tetap menghargai etnis lainya. Dengan demikian tercipta persatuan multietnis di Singapura," jelasnya.

Lee mengatakan salah satu tantangan ke depan adalah bagaimana memutuskan apakah akan mengadopsi Bahasa Inggris asli atau bahasa Inggris Amerika.

"Saya pikir peningkatan dominasi media Amerika berarti bahwa semakin banyak orang-orang Singapura, guru dan siswa akan mendengar versi Amerika, karena itu Saya percaya kita akan terkena dampak dominasi penggunaan bahasa Inggris Amerika bahkan berbicara bahasa Inggris Amerika" katanya menilai.