Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kenangan Ritual Jelang Lebaran yang Tak Terlupakan

Mamakku Luar Biasa...
Oleh : Redaksi
Selasa | 05-07-2016 | 11:40 WIB
Chappy-Hakim.jpg Honda-Batam

Chappy Hakim (Sumber foto: keamanan.rmol.co)

Oleh: Chappy Hakim

 

Tidak terasa, esok hari Rabu 6 Juli 2016 kita akan memasuki hari raya Idul Fitri. Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin mengumumkan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1437 H jatuh tepat pada tanggal 6 Juli 2016.

Bagi mereka yang tinggal di Jakarta, beberapa tahun belakangan ini, hari-hari menjelang dan beberapa saat setelah Lebaran dengan mudah menandainya sebagai “hari tanpa kemacetan nasional” di Ibukota negera tercinta.

Kegiatan sehari-hari mendekati hari raya idul fitri, selalu saja ditandai dengan kegiatan yang khas “menjelang Lebaran”. Demam THR (Tunjangan Hari Raya) melanda dimana-mana. Demikian pula kegiatan lainnya menjelang hari raya yang tidak pernah terjadi disepanjang tahun, “mudik Lebaran”.

Khusus di dalam lingkungan keluarga pasti akan terlihat demikian banyak yang dikerjakan oleh Bapak Ibu dan anak-anak untuk mempersiapkan atau menyongsong datangnya hari Lebaran.

Kegiatan khusus dan unik ini tentu saja diwarnai dengan perubahan cukup menyolok dari tahun ke tahun, menyesuaikan perkembangan jaman.

Kenangan masa kecil

Banyak sekali “kenangan manis” yang sangat mengesankan dan sulit dilupakan di kala saya menjalani masa kanak-kanak saat menjelang hari raya Lebaran. Kenangan yang dipastikan akan tetap abadi menjadi kenangan yang tidak mungkin lagi rasanya untuk dapat terulang kembali.

Pada waktu saya masih bersekolah di SD, saat itu masih bernama Sekolah Rakyat atau SR (di akhir tahun 1950 hingga awal tahun 1960an) bulan puasa benar-benar menjadi bulan idaman dalam arti sesungguhnya.

Kala itu setiap menjelang bulan puasa tiba hingga beberapa hari setelah Lebaran anak–anak sekolah memperoleh libur panjang yang dikenal dengan liburan 40 hari.

Sebuah waktu libur sekolah sangat panjang yang bahkan kini bila kita membicarakannya menjadi satu hal yang sulit untuk bisa dipercaya……..libur sekolah 40 hari? Namun itulah yang terjadi saat itu.

Menjelang Lebaran, ayah dan ibu saya menjadi sangat super sibuk. Di tengah keseharian melaksanakan ibadah puasa, mereka harus mempersiapkan kedatangan hari Lebaran tanpa ada pembantu. Dapat dibayangkan bagaimana hiruk pikuknya kegiatan yang terjadi.

Ibu saya selalu membuat baju baru sendiri bagi anak-anaknya dari bahan sangat sederhana yang dibeli bersama beberapa keperluan Lebaran lainnya di toko “De zon” pasar baru atau toko “Baba Gemuk” di Pasar Senen.

Bahan pakaian sederhana yang dibelinya itu biasanya dicicil 2 atau 3 bulan sebelum bulan puasa. Ibu saya membuat sendiri pola baju anak-anaknya yang sering disebutnya sebagai “patroon”, sebelum memulai menjahit baju.

Patroon digambar terlebih dahulu di atas kertas koran bekas, kemudian digunting di atas meja. Dengan patron yang terbuat dari kertas koran bekas itulah kemudian ibu saya memotong bahan baju yang akan dibuat baju untuk saya dan kakak saya.

Tentu saja , sebelumnya ibu mengukur sendiri ukuran badan anak-anaknya dengan meteran kain yang sudah disiapkan sebagai alat vital menjahit pakaian.

Saat itulah saya mengenal pinsil merah biru yang diperoleh ibu dari ayah saya untuk membuat patron baju. Potlod atau pensil merah biru adalah sebuah pensil dengan dua ujung yang dapat diraut dan masing-masing berwarna merah dan biru.

Setelah bahan kain selesai dipotong, potongan-potongan itu digulung dan dilipat sekaligus dengan patron dari koran bekas kemudian diikat serta ditandai dengan nama saya atau kakak saya.

Potongan itu disimpan terlebih dahulu sampai tiba saatnya ibu saya ada waktu lowong yang dapat digunakannya untuk menjahit baju. Dua minggu atau bahkan sebulan sebelum Lebaran, terkadang juga sudah mepet beberapa hari jelang Lebaran, baru ibu saya mulai menjahit pakaian baru bagi saya dan kakak saya.

Tradisi saat itu hari Lebaran harus memakai pakaian baru. Pada masa anak-anak itulah saya dan kakak saya diajar ibu untuk membantu jahit memasang kancing.

Kakak dan saya sendiri harus memasang atau menjahit kancing baju masing-masing. Terkadang jari tertusuk jarum dan tidak jarang kancing yang terpasang miring-miring tidak segaris dengan lubang kancingnya, walau sudah diberi tanda.

Ibu saya yang memotong dan menjahit sendiri baju termasuk membuat lubang kancingnya. Anak-anak dipastikan tidak akan bisa menjahit lubang kancing yang sangat rumit.

Saat itu belum ada mesin jahit pembuat lubang kancing. Lubang kancing harus di jahit tangan. Ibu saya sangat mahir membuat lubang kancing yang terkadang dilakukannya sampai berhari-hari baru selesai.

Saya dan kakak saya selalu menunggui ibu saya menyelesaikan perkerjannya membuat baju. Saya sering protes mengapa baju kakak saya yang selesai duluan, dan ibu saya selalu berkata karena dia adalah kakak saya, kakak yang lebih tua dari saya.

Saat ibu membuat baju, kakak saya dan saya biasanya siap di dekat ibu untuk setiap saat membantu. Membantu mengambilkan gunting, membantu membersihkan meja bekas memotong patroon, membantu menggulung benang di “sekoci”, kelos kecil yang diletakkan di bawah jarum jahit di mesin jahit, dan juga membantu memasukkan benang ke lubang jarum.

Ibu saya sudah sedikit kesulitan dalam kemampuan matanya untuk melihat lubang jarum yang sangat kecil itu. Anak-anak diajarkan, agar mudah memasukkan benang ke lubang jarum, benang dipotong di ujungnya dengan arah yang sedikit miring, kemudian dibasahi sedikit agar mudah untuk diarahkan masuk ke dalam lubang jarum yang kecil.

Ibu menjahit dengan mesin jahit “singer” yang digerakkan dengan kedua kakinya di bawah mesin jahit.

Setiap mendengar suara mesin jahit berbunyi, saya dan kakak saya berlari-lari mendekat, sekedar mengecek saja baju siapa gerangan yang tengah dijahit.

Kemudian bertanya terus, "kapan kelarnya, Mak. Kapan kelarnya?"

Ibu saya selalu dengan tenang dan tersenyum biasa menjawab, "sabar ya, sabar ya, besok kelar."

Ibu saya menyelesaikan sebuah baju sampai berhari-hari, karena harus menyambi banyak pekerjaan rumah tangga lainnya.

Kue Lebaran

Selain membuat baju baru untuk anak-anaknya berlebaran, ibu saya juga membuat kue-kue Lebaran sendiri.

Kue semacam lapis legit dan kebanyakan kue kering yang dipanggang di sebuah “oven” kuno yang di atasnya dipasang arang yang dibakar agar kue dapat matang merata bawah dan atasnya.

Karena saat itu belum ada “blender” maka tugas anak-anak mengocok adonan telur dan tepung dalam sebuah baskom dengan menggunakan pengocok adonan yang berbentuk seperti “per” atau “pegas” yang dibuat agar dapat lentur.

Yang menyenangkan adalah saat melihat ibu mencetak kue keringnya dengan cetakan kue. Sesekali anak-anak diberi kesempatan mencoba juga mencetak kue.

Ada pola-pola bintang, segi empat dan lingkaran seperti pada umumnya kue kering yang kita kenal sampai dengan saat ini.

Saat ibu kecewa melihat panggangan kuenya telanjur “gosong” atau agak coklat gelap warnanya karena terlambat diangkat, saya dan kakak saya justru gembira. Kue itu menjadi jatah anak anak untuk dimakan. Kue gosong disisihkan , tidak dimasukkan kedalam “stoples’ yang disiapkan untuk hari Lebaran.

Opor ayam

Untuk persiapan Lebaran, selain membuat baju dan kue, ibu saya selalu menyiapkan sendiri ketupat, opor ayam, rendang dan juga membikin sendiri “kacang bawang”.

Ritual ini sudah menjadi kegiatan rutin dan anak-anak sudah memperoleh “porsi” sendiri untuk kegiatan masing-masing. Kegiatan yang dengan senang hati dilakukan, tentu saja karena merupakan kegiatan dalam mengisi liburan 40 hari.

Daun pembuat ketupat, ibu membeli sendiri kepasar Petojo. Sampai di rumah menjadi tugas anak-anak mengisi beras ke dalam daun pembuat ketupat setelah dibersihkan.

Saya masih ingat takarannya adalah sepertiga sampai mendekati setengah dari isi daun ketupat. Saya sudah lupa, apakah yang dibeli itu daun bahan pembuat ketupat atau sudah jadi atau dalam bentuk ketupat.

Yang masih jelas dalam ingatan saya adalah ibu saya pandai membuat kelongsong ketupat dari daun kelapa dengan merajutnya sendiri. Ibu saya pernah mengajarkan saya dan kakak saya tapi saya tidak pernah bisa melakukannya sampai selesai. Baru separuh jalan, ketupat biasanya rusak berantakan.

Malam Lebaran ibu saya bisa dikatakan tidak tidur sama sekali karena harus memasak opor ayam, rendang dan ketupat. Ketupat biasanya baru masak di pagi hari menjelang subuh. Ketupat diangkat dari dandang setelah direbus atau dikukus dan kemudian diangkat untuk disusun rapih di sebuah “tampah”.

Ayah saya selalu menjadi “algojo” penyembelih ayam. Kami biasanya menyembelih 1 atau terkadang 2 ekor ayam yang sudah dibeli beberapa minggu sebelum Lebaran.

Setiap upacara potong ayam, saya , kakak saya dan ibu saya selalu menyaksikan bersama-sama. Ayah saya menyembelih ayam dengan menggunakan “silet”, kakak saya memegang kaki ayam, saya memegang sayapnya.

Beberapa saat ayah mengucapkan “bismilah” dan doa-doanya sebelum menorehkan silet ke leher ayam. Tidak jarang, ayam yang sudah disembelih itu ada yang masih juga kuat berdiri sejenak dan kemudian menggelepar rebah di tanah.

Setelah memastikan ayam sudah mati, maka ibu saya membawa ayam untuk diletakkan di dalam baskom besar yang kemudian diseduh dengan air mendidih.

Tugas saya dan kakak saya untuk mencabut bulu ayam hingga bersih dan siap dipotong-potong oleh ibu saya.

Anak-anak selalu “asyik” nonton bagaimana terampilnya ibu saya memotong-motong badan ayam, mengeluarkan “jeroannya”, kemudian membagi potongan-potongan badan ayam untuk siap dibuat opor dan atau gulai.

Tugas anak-anak adalah membantu membuat santan, memarut kelapa dengan alat khas yang sekarang sudah tidak ada lagi. Alat itu adalah sebuah papan panjang dilengkapi dengan besi di ujungnya yang diberi gerigi.

Kelapa yang dibelah dua utuh dengan batoknya kemudian dikukur pada kepala besi itu untuk menjadikan kelapa parut sebagai bahan pembuat santan.

Opor ayam dibuat sendiri oleh ibu saya. Rendang yang terdiri dari adonan santan dan bumbu serta potongan daging di panggang dalam sebuah wajan besar. Setengah jalan separuhnya diangkat menjadi “gulai” dan setengah nya lagi diteruskan pangang hingga berwarna coklat gelap nyaris hitam menjadi “rendang”.

Menjadi tugas anak-anak membantu membalik-balikan adonan gulai rendang itu agar tidak menjadi gosong bagian bawahnya di kuali besar.

Expand