Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pancasila Benteng Satu-satunya agar Komunisme Tak Berkembang di Indonesia
Oleh : Irawan
Rabu | 22-06-2016 | 18:48 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha mengingatkan kembali bahwa hanya Pancasila sebagai benteng agar komunisme tidak berkembang lagi di Indonesia.

"Semakin Pancasila disosialisasikan kepada masyarakat terutama dari Taman Kanak-kanak sampai SLTA, sehingga Pancasila itu dihayati dan diamalkan, maka faham seperti Komunis tidak akan berkembang. Sudah terbukti dalam sejarah, Pancasila mampu mencegah PKI berkembang," kata Syaifullah didampingi Pengamat Politik LIPI Siti Zuhro ketika menjadi pembicara dalam diskusi Pancasila dan Arah Isue Kebangkitan PKI di Gedung DPR, Rabu (22/6/2016).

Menurut Tamliha, semestinya ketika terjadi reformasi, peninggalan yang baik di Orde Baru tidak dihilangkan seperti untuk Pancasila merakyat ada BP7 dan P4P.

"Sekarang saja di SD tidak hafal Pancasila, inikan semakin parah, semestinya Pancasila itu sudah diajarkan di TK," katanya.

Sedangkan Siti Zuhro melihat setelah reformasi ada upaya untuk melupakan Pancasila sehingga lambat-laun Pancasila menjadi buram.

"Jadi, untuk menghidupkan kembali Pancasila, maka perlu pimpinan negara, pejabat negara sampai lurah dan camat serta para tokoh masyarakat untuk sosialkan kembali Pancasila," tegasnya.

Selain itu, Indonesia mengalami krisis kepemimpinan yang berwibawa untuk membawa negara ini disegani di Asia Tenggara.

"Sekarang saja wilayah laut kita, mudah dimasuki dengan ikan dicuri. Dan beberapa perbatasan wilayah negara kita dicaplok," katanya.

Tak akan minta maaf
Pada kesempatan itu, Saifullah Tamaliha mengatakan, TNI AD tidak akan pernah meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia atau PKI yang telah ditumpas sejak tahun 1965. Bagaimana pun, korban yang sesungguhnya justru para jenderal TNI AD yang dulu dibunuh PKI.

"Haqul yakin, TNI AD tidak akan pernah meminta maaf pada PKI, itu sudah harga mati," katanya.

Terkait pelaksanaan dua simposium berbeda beberapa bulan lalu, anggota Komisi I DPR ini mengaku ikut mencermati tetapi dia bertanya siapa yang bermain dibelakangnya.

"Simposium pertama yang diadakan pemerintah bertema Tragedi 1965 dihadiri kumpulan para jenderal. Simposium kedua atau tandingan di Balai Kartini juga kumpulan para jenderal," ujarnya heran.
Dia melihat, Presiden Jokowi ingin membuat keseimbangan atas kedua rekomendasi dari simposium yang berbeda itu.

"Pak Jokowi berupaya untuk seimbang, mengatur kepentingan dengan Tiongkok dan kepentingan dengan Amerika," katanya.

Seperti halnya keberadaan menter-menteri di kabinetnya ada yang berhaluan Tiongkok dan berhaluan ke Amerika.
Hal yang sama pernah dilakukan oleh Presiden Sukarno. Namun diingatkan, Presiden Soekarno berusaha dapat apa Indonesia dengan membuat keseimbangan itu.

Menurut Saifullah, polemik soal kebangkitan PKI ini kemudian selesai setelah mantan Kepala BIN Hendropriyono tampil dalam sebuah acara di stasiun televise swasta yang menghimbau untuk menghentikan polemik itu.

"Siapa yang bermain ? Saifullah bertanya tanpa menjelaskan lebih jauh maksud pertanyaannya itu. Dia juga bertanya apa lagi gunanya bicara rekonsiliasi, toh sekarang sudah hidup bersama dalam satu rumah.

Istilah kebangkitan PKI menurut dia berbahaya dan tidak tepat karena bisa diartikan hantu gentayangan bangkit dari kuburan. "Kalau hantu yang bangkit, bisa menghantu-hantui kita," ujarnya lagi.

Masih dalam nada bertanya, politisi asal Kalsel ini juga tidak tahu alasannya gedung bekas kantor PKI di Jalan Kramat Raya tidak robohkan.

"PKI sudah dibubarkan, tetapi bekas kantornya tak diruntuhkan," kata Saifullah.

Namun sebelumnya dia mengatakan bahwa Pancasila hanya dijadikan kegiatan tetapi tidak ada upaya sungguh-sungguh menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila kepada kader generasi bangsa.

"Celakanya ada generasi muda kita yang tidak hafal lagi Pancasila, di sekolah-sekolah hanya diajarkan ikrar sekolahnya," ujar Saifullah yang memgaku prihatin.

Editor: Surya