Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jurus Menangkal Radikalisme di Dunia Maya
Oleh : Opini
Jum'at | 06-05-2016 | 12:16 WIB

Oleh: Iboy Sandi*

FENOMENA radikalisme yang semakin luas merambah ke dunia maya (virtual world), menunjukan masih adanya celah yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok/organisasi radikal dan teroris dalam menyebarkan paham radikalnya. Upaya-upaya propaganda radikalisasi ini mudah menyebar ke seluruh dunia karena perkembangan teknologi komunikasi, seperti maraknya berbagai aplikasi dan sarana media sosial serta kemudahan dalam mengakses berbagai situs media sosial dan media online lainnya.

Fenomena tersebut bisa dikatakan sudah menjadi trend bagi kelompok teroris maupun radikal dalam melancarkan aksi propaganda dan ancaman-ancaman untuk membuat resah masyarakat. Di mana radikalisme yang ditanamkan melalui dunia maya ini dapat menjadi embrio lahirnya terorisme. Celakanya, seiring perkembangan teknologi informasi ini, menyebabkan mata rantai kelompok/organisasi radikal terintegrasi secara global dan dengan cepat dapat tersebar ke seluruh dunia termasuk di Indonesia dengan menyasar berbagai kalangan atau elemen masyarakat.

Melihat fenomena tersebut, pemerintah Indonesia tentunya tidak tinggal diam, berbagai upaya telah dilakukan untuk meredam derasnya arus propaganda radikal di dunia maya. Seperti, memonitor hingga melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang dianggap radikal dan dapat memprovokasi masyarakat luas. Bahkan baru-baru ini pada 28 Januari 2016, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) telah melakukan pemblokiran terhadap 33 situs yang dinilai ikut menyebarkan paham radikal.

Pemblokiran ini sendiri memang menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, namun perlu diakui bahwa upaya pemerintah dalam mencegah berkembangnya bibit teroris mememang perlu dilakukan dalam rangka mengantisipasi penyebaran informasi provokatif dari kelompok-kelompok garis keras di dunia maya.

Akan tetapi kebijakan pemblokiran situs-situs ini akan tidak efektif bila berjalan sendiri, mengingat karakteristik internet yang menyebabkan pemblokiran menjadi sia-sia karena selalu ada celah di balik teknologi siber. Di mana pemblokiran sebuah situs dapat saja direspon oleh pengelola situs tersebut dengan membuka puluhan bahkan ratusan situs semacamnya.

Oleh karena itu, hal lain yang dapat dilakukan beriringan dengan kebijakan pemblokiran situs radikal dalam menangkal arus propaganda radikalisme di dunia maya adalah dengan memuat situs-situs berpaham moderat, atau penguatan kembali situs-situs keagamaan yang damai. Sehingga muncul alternatif pemikiran yang memperkaya perspektif khalayak agar tidak terbawa propaganda radikalisme yang ada.

Selain itu, hal lainnya yang sangat penting dilakukan adalah penguatan literasi media. Masyarakat perlu diberi pemahaman yang baik dalam berinternet, agar tidak terprovokasi oleh tulisan maupun konten lainnya yang radikal. Pengertian literasi media sendiri adalah kemapuan untuk memahami, menganalisis dan mendekonstruksi pencitraan media.

Kemampuan untukmelakukan hal ini ditujukan agar masyarakat sebagai konsumen media menjadi paham tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses. Sehingga diharapkan masyarakat menjadi mengerti terhadap konten yang akan dibaca.

Setidaknya menurut Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute (Policy) Jakarta, Gun Gun Heryanto,ada tiga aspek utama dalam pemanfaatan literasi media untuk menangkal radikalisme, yakni; Pertama, knowledge pengakses berita/informasi di media, minimal orang yang akan mengakses berita sudah mengetahui apa yang akan dia cari, dengan demikian akan membantu pengakses berita dalam menerjemahkan berita yang akan ia terima.

Sehingga, kemungkinan salah paham menjadi kecil. Kedua adalah skill, hal ini terkait dengan bagaimana dan untuk apa seseorang mengakses sebuah berita, apakah seseorang mencari berita dari sumber-sumber berita yang terpercaya atau dari sumber yang belum jelas validitasnya.

Aspek yang ketiga untuk melawan radikalisme adalah tentang sikap, hal yang paling utama dari berita adalah sikap yang diambil masyarakat setelah menerima berita, apakah menerimanya sebagai sebuah kebenaran atau menolaknya karena bertentangan dengan kewarasan.

Menangkal paham radikalisme yang dapat berkembang menjadi tindakan terorisme yang disebarkan melalui propaganda di dunia maya memang tidaklah mudah.Tetapi apapun alasannya, harus kita lawan dengan intensitas pemahaman tentang literasi media yang baik.

Sehingga masyarakat dapat cerdas dalam memilih dan menilai suatu informasi/pemberitaan di media, agar pola penyebaran paham radikal di dunia maya menjadi tidak berarti.

*) Penulis adalah Pemerhati Media Sosial dan Radikalisme