Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Inilah Upaya Mencegah Kekerasan di Tahanan
Oleh : Redaksi
Selasa | 26-04-2016 | 09:02 WIB
lapas_banceuy-getty.jpg Honda-Batam

Keterangan resmi kepolisian menyebutkan, kerusuhan dilatari kemarahan napi terhadap kematian seorang napi di sel khusus. (Foto: Getty)

BATAMTODAY.COM, Bandung - Kematian narapidana Undang Kosim di LP Banceuy, yang memicu pembakaran lapas tersebut, menyoroti dugaan adanya tindak kekerasan atau penyiksaan yang terjadi di pusat-pusat penahanan, baik di lembaga pemasyarakatan maupun di tahanan polisi.

 

Pegiat HAM pun meminta agar ada transparansi yang mencegah praktik kekerasan tersebut terjadi atau terulang di masa depan.

Wakil Koordinator Kontras Puri Kencana Putri menyatakan bahwa lembaga pemasyarakatan bukanlah satu titik utama di mana kekerasan terhadap tahanan bisa terjadi.

"Ini harus ditarik mundur pada penahanan pra-peradilan. Polisi Indonesia punya kewenangan menahan selama 30 hari, di sini yang luput adalah, di Indonesia kita tidak punya akses bantuan hukum," kata Puri.

Di sini, menurutnya, kemudian ada praktik penyiksaan yang terjadi pada terdakwa, terpidana, maupun narapidana, sementara akses terhadap bantuan hukum baru diberikan saat seseorang menjalani persidangan.

Puri juga menyatakan bahwa, terjadi juga praktik-praktik penutupan akses terhadap keluarga korban.
Hal inilah yang terjadi pada Yusli, yang pada 2011 lalu, dijemput oleh polisi Cisauk, Tangerang, atas tuduhan sebagai penadah kendaraan curian meski tanpa surat penangkapan.

Sebelum sampai di kantor polisi, Yusli tewas ditembak tanpa ada proses hukum. Yeni pun mengajukan tuntutan ke pengadilan, dan tiga polisi yang terlibat dalam penembakan Yusli tersebut terbukti melakukan pembunuhan sehingga dijatuhi hukuman dua dan lima tahun penjara.

Menurut Yeni, bahkan di tempat dia tenggal di Rumpin, Tangerang, kasus yang menimpa adiknya bukanlah hal yang unik.
"Di sekitar saya juga ada beberapa (tahanan) yang meninggal di kantor polisi, saya samperin ke keluarga, Ayo, kita laporkan, tapi keluarga sering bilang, Sudahlah, memang anak saya yang salah, maling lah, atau narkoba lah," kata Yeni.

"Jadi merekanya tak mau nuntut. Duh sayang juga nih, maksudnya biar ngasih pelajaran, kalau mereka semangat, lapor, otomatis lebih banyak laporan, makin banyak teguran, polisi makin hati-hati lagi ke depannya gitu," kata Yeni.
Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah mengakui bahwa ada “banyak” kekerasan yang terjadi di pusat-pusat penahanan.

Dan dia mendorong adanya sistem pencegahan atas praktik kekerasan tersebut yang menyasar pada transparansi, termasuk mewajibkan otopsi pada setiap kasus kematian yang terjadi saat seseorang berada di tahanan.

"Apakah bisa ada otopsi, sehingga untuk memastikan sebenarnya kalau ada sesuatu kekerasan yang terjadi sampai meninggal, maka bisa dipastikan sebabnya kenapa, apakah betul karena bunuh diri, atau kematian normal, atau ada kekerasan yang lain," kata Roichatyul.

"Orang masuk (tahanan) itu harus ditetapkan dan dinyatakan secara detail kondisi dan situasi orang itu. Itu kan prosedur standar yang mungkin baik untuk membuat suatu kerangka pencegahan kekerasan di masa depan tidak terjadi lagi," kata Roichatul.

Kepada wartawan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meski mengakui ada aksi penempelengan oleh sipir terhadap Undang Kosim di lapas Banceuy, namun dia meyakini tindakan tersebut tak menyebabkan tewasnya Undang.

Dia menyebut kematian Undang adalah karena bunuh diri. Tetapi, kemarin, polisi sudah menetapkan empat penjaga lapas sebagai tersangka atas dugaan melakukan penganiayaan terhadap Undang.

Sementara itu, juru bicara Mabes Polri Agus Rianto pun menanggapi pernyataan tentang dugaan praktik kekerasan yang terjadi saat seseorang ditangkap atau ditahan polisi.

Menurutnya, "Teman-teman (penyidik) saya sudah berupaya semaksimal mungkin menghindari hal-hal itu, sehingga kalau ada yang mengalami, dilaporkan, pasti akan kita telusuri. Ya ada sanksinya kalau terbukti melanggar (melakukan kekerasan saat penangkapan atau penahanan)." (Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Dardani