Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kerusuhan Baru Tolikara Papua, Ibarat Perang Adat
Oleh : Redaksi
Senin | 25-04-2016 | 11:02 WIB
kerusuhan-tolikara-idul-fitri-lalu.jpg Honda-Batam

Kerusuhan Tolikara Idul Fitri lalu belum hilang dari ingatan, terjadi lagi kekerasan terbaru (Sumber foto: BBC Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Papua - Berbeda dengan kekerasan bermotif agama pada Idul Fitri lalu, ini adalah "perang adat" yang berlangsung lebih dari sepekan, dan mestinya bisa dicegah, kata pengamat.

Sedikitnya dua orang tewas, 17 luka berat, dan 15 lainnya luka ringan sementara tak kurang dari 95 rumah hangus dibakar, sejumlah lahan pertanian rusak, dan hewan ternak dijarah.

Banyak hal masih simpang siur, namun kerusuhan dilaporkan terkait sengketa pembagian dana desa antara warga distrik Gika dan distrik Panaga, yang masing-masing terdiri dari 10 desa.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tolikara menggambarkan kerusuhan itu sebagai "perang adat".

Pengamat Papua dari LIPI, Adriana Elisabeth menyebut, persoalan kecil seperti ini di Papua sering bisa meledak dan berlarut-larut, karena akar masalahnya sering tidak dituntaskan, dan malah sering ada rekayasa.

Kepala BPBD Tolikara Feri Kogowa, menyebut, kerusuhan berlangsung begitu lama karena lokasinya sulit dijangkau aparat. Sekarang, katanya, aparat Pemda Tolikara dan kepolisian sudah berada di lokasi untuk menengahi, namun suasana masih panas.

Sebelum itu, katanya, berlangsung apa yang digambarkannya sebagai "perang adat".

"Warga kedua distrik, bersenjatakan tombak, parang, dan terutama anak panah, saling menyerang. Kedua belah pihak siaga 24 jam. Masing-masing mungkin berkekuatan setidaknya 500 orang. Banyak warga biasa juga mengungsi ke distrik-distrik tetangga. Mungkin lebih dari 3000 orang," kata Feri Kogowa.

Simpang siur

Pangdam XVII Cendrawasih, Hinsa Siburian, membenarkan bahwa kerusuhan bermula dari pembagian dana desa. Namun, kerusuhan hanya berlangsung beberapa hari. Dan pihaknya tidak mengerahkan pasukan.

"Tidak ada permintaan pengerahan, tapi di sana kan sudah ada Babinsa, yang membantu aparat lain, untuk melakukan mediasi," kata Hinsa Siburian.

Menurut pengamat masalah Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Papua sering sekali terjadi peristiwa yang persoalannya simpang siur.

"Karenanya harus dicek betul akar masalahnya apa," kata Adriana.

"Persoalan sering berlarut-larut, karena akar masalahnya tidak dituntaskan. Dan apa saja bisa jadi pemicu kerusuhan yang lebih besar dan berlarut-larut, karena akar masalah dari suatu persoalan tidak benar-benar diselesaikan," tambahnya.

Disebutkan Adriana, aparat dan pemerintah setempat harus sangat tanggap soal ini.

"Begitu ada persoalan, harus diselesaikan oleh pemerintah setempat, atau dewan adatnya. Sehingga tak akan jadi pemicu kalau ada masalah."

Apakah dengan itu berarti, pemerintah setempat dan aparat selama ini kurang efisien, sehingga tidak begitu tanggap dalam menyelesaikan akar persoalan ketika terjadi konflik?

"Ini memang yang belum dievaluasi sejak ada otonomi khusus," jawab Adriana.

Ditegaskan Adriana pemerintah setempat harus berani mengambil peran secara optimal untuk segala yang menjadi otoritas mereka.

Ia menandaskan pula, Papua memunculkan tantangan tersendiri terkait luasnya wilayah, kondisi dan kekayaan alamnya, kompleksitas masyarakatnya.

Ia memperingatkan, terkadang konflik di Papua "dibiarkan atau bahkan direkayasa".(Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Udin