Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Terancamnya Nilai Luhur dan Kesantunan Tutur Bangsa Indonesia
Oleh : Saibansah
Jum'at | 15-04-2016 | 16:48 WIB

Oleh: Saibansah Dardani

MENONTON televisi, membaca media cetak dan media sosial beberapa hari belakangan ini, membuat dada makin sesak. Bagaimana tidak? Hampir setiap menit, bahkan detik, masyarakat Indonesia disuguhi tontotan yang sangat jauh dari tradisi warisan luhur bangsa Indonesia. 

Bangsa Indonesia, adalah bangsa yang besar, sopan dalam pergaulan, santun dalam tutur kata, toleran dalam keyakinan dan gemar bergotong royong. Itulah warisan leluhur bangsa ini, bangsa asli Indonesia. Dan selama beratus tahun, warisan luhur itu terus kita jaga dengan sekuat tenaga. Karena itulah jatidiri bangsa kita, bangsa Indonesia. 

Dan warisan leluhur bangsa ini tersebar dari seluruh anak bangsa di Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Orang tua kita mengajarkan santun tutur kata. Pemilihan diksi kepada orang tua, guru dan sahabat. Semua diajarkan oleh orang tua dan lingkungan kita. 

Itulah yang menjadi kearifan lokal seluruh anak bangsa asli Indonesia. Di Pulau Sumatera, kami mengenal sastra lisan yang indah dan sudah pasti santun. Ada untaian pantun dan rajutan kata yang jenaka, namun tetap santun. Di Pulau Jawa kita juga punya kesantunan itu. Begitu pula halnya dengan di pulau-pulau lain di Indonesia. Karena memang, begitulah tunjuk ajar nenek moyang kita kita, bangsa asli Indonesia. 

Indonesia adalah Indonesia, dan anak bangsa Indonesia asli adalah anak bangsa yang santun dalam bertutur, sopan dalam bergaul, toleran dalam keyakinan, gemar bergotong royong penuh empati. Itulah jatidiri anak bangsa asli Indonesia. Dan begitu pula halnya dengan bangsa-bangsa di dunia yang memiliki jatidirinya masing-masing. 

Misal, Republik Rakya Cina tidak mau dipaksakan oleh bangsa mana pun untuk menerapkan demokrasi ala Amerika Serikat. Yang tahu jatidiri bangsa Cina ya bangsa asli Cina sendiri. Karena itulah, sampai hari ini, Republik Rakyat Cina tidak mau didekte menerapkan demokrasi ala Amerika Serikat itu. Dan atas sikapnya itu, bangsa Cina pun dihormati dunia. 

Tapi, hari-hari balakangan, anak bangsa ini disuguhi dengan sajian tontotan yang sama sekali jauh dari nilai-nilai jatidiri bangsa asli Indonesia. Hari-hari belakangan, anak bangsa ini dipertontonkan keangkuhan, kecongkakan, ketakaburan, sikap kemenangan sendiri, mudah meremehkan orang lain, sikap yang menghinakan dan seterusnya. Sungguh, satu sikap dan tindak tanduk yang sangat menyimpang dari nilai-nilai luhur warisan nenek moyang asli bangsa Indonesia. 

Lalu, anak bangsa ini seolah syok dan terdiam. Mereka tak sanggup berkata-kata lagi. Seolah tidak percaya. Bagaimana bisa, bangsa yang besar ini, dihina-hina dengan kata-kata dan kecongkakan tingkah-laku oleh anak bangsa "tamu", - meminjam istilah budayawan asal Yogyakarta, Emha Ainun Najib. "Tamu" yang diterima dengan penuh kesantunan, dihargai dengan penuh kesopanan, tapi justru malah berperilaku penuh kecongkakan. Bahkan, mengusir sang tuan rumah. 

Itulah tontonan yang hari-hari ini, sedang disajikan untuk anak bangsa ini. Sampai kapan? 

Entahlah!