Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Renungan Pasca-Demo Rusuh Supir Taksi
Oleh : Opini
Rabu | 30-03-2016 | 08:15 WIB

Oleh: Linggar Rama Dian Putra*

JAM masih menunjukkan pukul 05.00 pagi ketika kereta yang saya tumpangi tiba di sebuah stasiun di Kota Surabaya. Karena lokasi yang akan saya tuju terletak di daerah padat penduduk dengan lorong-lorong gang untuk mencapainya, jasa transportasi ojek adalah pilihan yang paling sesuai. Selain karena lebih murah, juga lebih efisien untuk mencapai tujuan perjalanan saya.

Tak seperti biasanya pagi itu tak saya jumpai bapak yang menawarkan jasa angkutan ojek. Dan kemudian untuk pertama kalinya saya mencoba menggunakan jasa angkutan ojek online. Tak lama setelah instalasi aplikasi di smartphone, saya memesan satu paket antar dengan trayek dan tujuan yang sudah saya sertakan. Di situ pula saya bisa melihat tarif yang harus saya bayarkan.

Lima belas menit kemudian ojek yang saya pesan sudah tiba tepat beberapa meter di tempat saya menunggu. Dalam perjalanan, saya menyempatkan bercakap-cakap dengan si pengemudi. Dan Ia bercerita bahwa profesinya sebagai pengemudi ojek online sebenarnya bukan pencaharian utama. Ia bekerja sebagai wiraswasta di bidang instalasi pipa pengairan di rumahnya. Tetapi hadirnya ojek online memberikan ia peluang pencaharian lain yang bisa dikerjakan sambil lalu untuk menambah penghasilannya.

Dengan ojek online, Ia tak perlu seharian menunggu penumpang di pangkalan ojek atau di tempat-tempat umum orang berlalu lalang. Ia cukup memarkir motor di halaman rumahnya sambil mengerjakan instalasi pipa air yang jadi pekerjaan utamanya. Ketika permintaan jasa transportasi masuk di smartphone-nya, Ia cukup memberikan konfirmasi balasan, mengenakan jaket penanda armada jasa angkutan online, dan menjemput si penumpang.

Saat Ia butuh fokus untuk mengerjakan pekerjaan utamanya Ia pun kadang mengabaikan panggilan penumpang di aplikasinya dan membiarkan pengemudi ojek online lainnya mengambil penumpang tersebut. Begitulah rutinitasnya sebagai pengemudi ojek online.

Jasa transportasi online akhir-akhir ini memang sedang marak diperbincangkan baik di kalangan masyarakat pengguna hingga berbagai media yang mengulasnya. Banyak kalangan menilai jasa transportasi ini merupakan solusi atas berbagai persoalan yang menyangkut ketersediaan, kenyamanan, aksesibilitas, dan efisiensi transportasi publik di Indonesia yang semakin hari semakin mendapat sorotan.

Di tengah semakin langkanya transportasi publik yang murah namun tetap mementingkan kenyamanan dan keamanan, jasa transportasi online seakan menjadi solusi. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya pengguna layanan transportasi online. Namun demikian beberapa kalangan lain menyatakan pendapat yang berbeda dan menilai hadirnya jasa transportasi online justru menambah persoalan.

Selain tidak memiliki peraturan hukum yang jelas, aturan perpajakan yang belum ada, jasa transportasi online juga dianggap dapat merusak pasar jasa transportasi karena harga yang jauh turun di bawah rata-rata harga pasar atau yang dikenal dengan istilah ‘predatory pricing’.

Dunia yang Sedang Berubah
Teknologi komunikasi dan informasi tak hanya mengubah cara kita berinteraksi dengan sesama tapi juga mengubah keseluruhan pola kehidupan kita. Mulai dari bagaimana kita menampilkan diri kita di dunia ‘maya’ hingga bagaimana sistem pertukaran informasi dan materi mengalir deras di dan melalui ruang yang difasilitasi oleh mutakhirnya sistem komunikasi. Setidaknya itulah bagaiamana para pakar menggambarkan.

Dalam dunia yang semakin cepat dan ringkas ini, fleksibilitas dan aksesibilitas menjadi keniscayaan dan sekaligus tujuan dari ‘seleksi alam’. Oleh karenanya di era sekarang ini kita sebenarnya berada dalam dunia yang sedang berubah, beradaptasi menyesuaikan dengan berbagai pergeseran yang disebabkan oleh kompresi ruang dan waktu ini. Salah satu sektor vital yang tak luput dari perubahan tersebut adalah sektor ekonomi dan tenaga kerja.

Seorang ilmuwan sosial bernama David Harvey yang menulis buku The Condition of postmodernity (1989) menggambarkan ihwal perubahan saat ini dimulai dari sistem produksi yang menjadi katalis perubahan-perubahan di sektor lainnya. Ia menyebut di era teknologi informasi ini dengan berbagai dorongan politik dan ekonomi, sistem produksi harus meninggalkan pola lama yang cenderung ‘kaku’ dalam hal investasi, korporasi, tenaga kerja, hingga regulasinya.

Sistem produksi yang kaku hanya akan menambah banyak persoalan dan resiko sehingga harus berganti dengan sistem baru yang Ia sebut sebagai flexible accumulation atau bisa diandaikan dengan sistem produksi yang berbasis fleksibilitas. Bentuk-bentuk investasi dan korporasi tidak lagi didasarkan pada tercapainya produksi massa yang mengharuskan fiksasi aset dan tenaga kerja, tetapi justru mendesentralisasikannya. Sistem produksi berbasis fleksibilitas ini terdiri dari dua lapisan struktur tenaga kerja, yakni inti dan lapisan kedua.

Di dalam inti struktur biasanya mereka adalah tenaga kerja permanen yang menjadi inti dari satu korporasi. Sedangkan lapisan kedua terdiri dari pekerja temporer, sub-kontraktor jangka pendek, dan pekerja paruh waktu. Artinya tenaga kerja tidak lagi dalam pengertian yang tradisional yang harus memenuhi target-target jam kerja sebagai aset tetap sebuah organisasi produksi, tetapi lebih fleksibel dan tentu multidimensi karena tenaga kerja tersebut dapat mengerjakan pekerjaan lainnya di waktu yang lain.

Di kasus tertentu, pekerja temporer juga merangkap sebagai sub-kontraktor penyedia jasa aset yang dibutuhkan, misalnya tenaga kerja marketing yang dituntut untuk memiliki kendaraan sendiri (motor), dan dalam kasus ini adalah tenaga kerja jasa transportasi online.

Dalam bahasa ekonomi, perubahan ini adalah apa yang disebut Profesor Rhenald Kasali sebagai fenomena sharing economy. Menurutnya dengan dibantu kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, sharing economy dapat mengurangi rantai tenaga kerja yang berarti mengurangi pengeluaran dalam biaya produksi. Resiko tenaga kerja juga bisa dikurangi karena mereka adalah tenaga kerja temporer atau bahkan paruh waktu yang sangat fleksibel.

Gambaran ojek online menunjukkan bagaimana seorang pekerja dengan cara yang mudah dapat menjalani dua profesi sekaligus. Menjadi tukang pipa air dan di waktu tertentu ia menjadi driver jasa transportasi. Dari segi efisiensi biaya, tentu sistem produksi berbasis fleksibilitas ini jauh lebih efisien sehingga harga jual hasil produksinya pun akan sangat rendah dibanding harga pasar yang kebanyakan masih mengandalkan sistem produksi konvensional.

Hambatan atau Potensi?
Akhir-akhir ini kita banyak mendengar di berbagai media, di beberapa titik dan dalam skala kecil kehadiran jasa transportasi online mendapatkan penolakan dari kelompok yang merasa dirugikan. Namun belakangan penolakan tersebut semakin berkembang dan berujung pada demo besar-besaran sopir angkutan darat di Jakarta yang menjurus pada tindakan anarkis. Beberapa merekam pengeroyokan terhadap pengemudi jasa transportasi online.

Peristiwa tersebut menyisakan dilemma. Di satu sisi demonstrasi yang dilakukan para sopir tidaklah sepenuhnya salah karena memang negara belum meregulasikan jasa transportasi online terkait dengan perizinan dan terutama perpajakannya. Tetapi di sisi lain, kehadiran jasa transportasi online juga dianggap memberikan terobosan baru yang secara faktual banyak diterima masyarakat.

Terlepas siapa yang benar dan salah, pemerintah haruslah segera mengambil kebijakan untuk memberikan perundang-undangan yang jelas pada jasa transportasi online tersebut, barulah nanti aka nada penyesuaian-penyesuaian baru berdasarkan regulasi yang ada, baik dari segi standard operasional dan juga tarif dasar yang diatur.

Kepanikan yang dialami beberapa pengemudi angkutan darat konvensional tentu berdasar. Dengan belum adanya regulasi operasional dan peraturan perpajakan dari pemerintah, keberadaan jasa transportasi online tentu secara yurudis masih belum legal. Terlebih lagi dengan patokan harga yang jauh lebih murah dari moda angkutan lainnya membuat persaingan pasar dirasa kurang adil, terutama bagi pengemudi angkutan konvensional yang sudah mengikuti regulasi operasional, tarif, dan perpajakan.

Maka dengan harga yang murah tersebut secara natural konsumen akan memilih yang jauh lebih murah dan efisien tentunya. Alhasil keberadaan jasa transportasi online menjadi ancaman bagi industri jasa transportasi, terutama yang menerapkan sistem konvensional.

Di sisi yang lain, kita harus juga memahami bahwa keberadaan jasa transportasi online memberikan peluang dan sekaligus pintu lapangan kerja mandiri bagi pasar tenaga kerja di Indonesia. Dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi, setidaknya memberikan sedikit solusi bagi persoalan unemployment yang sedang akan mengancam Indonesia beberapa tahun ke depan.

Besarnya angka usia produktif di Indonesia dewasa ini seakan mendapat setitik jalan keluar dengan hadirnya sistem produksi yang fleksible seperti produksi jasa transportasi online tersebut.. Bukan tidak mungkin akan muncul industri-industri sektor lainnya yang memanfaatkan teknologi informasi dan fleksibilitas tenaga kerja, meskipun dengan modal yang tidak terlalu besar.

Artinya kemunculan fenomena jasa transportasi online tersebut sebenarnya memberikan dorongan bagi generasi muda kreatif Indonesia untuk menciptakan peluang-peluang usaha baru. Tentu ini modal berharga bagi Indonesia yang akan bersaing secara global baik di tingkat ASEAN maupun di level lainnya yang lebih luas. Di sinilah pemerintah harus lebih jeli melihatnya.

Melalui badan-badan terkait, pemerintah perlu menampung dan mengelola geliat usaha mandiri berbasis fleksibilitas ini sehingga potensi generesi bangsa di era teknologi dan informasi ini dapat memberikan sumbangsih bagi geliat industri yang tidak hanya di dalam negeri, tetapi bisa merambah pasar internasional.

*) Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya