Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Terobosan Bupati Alias Wello

Kembalikan Kejayaan Lingga sebagai Penghasil Timah Dunia
Oleh : Nur Jali
Minggu | 06-03-2016 | 11:15 WIB
IMG-20160306-01000.jpg Honda-Batam
Tugu Timah di Pulau Singkep sebagai bukti bahwa Lingga penghasil timah dunia dari masa Kesultanan Riau-Lingga hingga sekarang (Foto : BATAMTODAY.COM/Nur Jali)

BATAMTODAY.COM, Dabosingkep - Baru-baru ini, Bupati Lingga Alias Wello mengundang Manager PT Timah Indonesia Wilayah Riau-Kepulauan Riau (Kepri) untuk kembali berinvestasi di Kabupaten Lingga.

Ajakan Alias Wello ini mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan, meskipun ada juga suara-suara sumbang terhadap gebrakan yang dilakukan Bupati Bintan ini karena takut kejadian era 90-an bakal terulang kembali.

Apa sebenarnya yang terjadi di Lingga era 90-an hingga membuat ketakutan warga hal itu bakal terulang, berikut penelusuran wartawan BATAMTODAY.COM, Nur Jali.

Jika kita kembali ke belakang, ratusan tahun yang lalu keberadaan logam pasca transisi (timah) ini di Pulau Singkep sudah hadir sejak tahun 1812 Masehi.

Encik Mochtar (80), pria yang pernah bekerja di perusahaan timah pada masa kejayaan PT. Timah di Dabosingkep ini menceritakan sekilas tentang sejarah kandungan timah di Pulau Singkep.

Menurutnya, kemampuan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah III /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV (1857-1883) dalam berpolitik dagang kala itu mampu untuk menghidupi seluruh rakyatnya yang memiliki wilayah pemerintahan dari Riau, Johor dan Lingga dengan memanfaatkan bijih timah.

Bahkan kala itu mampu mengguncang dunia barat atau negara-negara eropa melirik ke tanah Melayu ini. Kekayaan Kerajaan Johor Riau Lingga dan Pahang kembali perkasa di masa itu, dan ketika itu pula Bunda Tanah Melayu ini dikenal dan Bahasa Melayu menjadi bahasa perdagangan di Nusantara.

"Kalau pantun orang dulu, 'besar ulat di daun kayu, anak Belanda main teropong, besar daulat Raja Melayu, kapal ditarik dengan Jongkong'. Itulah kutipan pantun dari kebanyakan orang Melayu," ujar Encik Mochtar.

Dalam suatu buku sejarah menyebutkan, meskipun saat itu Belanda yang lebih dulu melakukan lobi-lobi untuk membuka tambang timah di Kerajaan Riau-Lingga dan dapat menempatkan delegasinya di Tanjungpinang. Namun, berkat keahlian berpolitik Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah III yang juga membuka komunikasi dengan negara Eropa Lain yaitu Inggris.

Kemudian, Sultan Lingga tersebut melakukan kerja sama penambangan timah dengan Inggris, bukan degan Belanda. Namun, Belanda yang saat itu menguasai pasar timah dunia melakukan intervensi penambangan timah di Lingga. Upaya Belanda melakukan intervensi itu behasil dicegah dan dibatasi.

Sehingga penambangan timah di Pulau Singkep awalnya dilakukan dengan bekerjasama dengan Inggris bukan dengan Belanda, sehingga intervensi Belanda saat itu untuk menguasai bijih timah mampu dibatasi.

"Cerite dari orang tue saye, kemampuan politik orang melayu memang dikenal sejak dulu, laut dapat kite kelola jalur perdagangan kita andil sehingga pengaruh kita begitu besar menjadi bahasa pemersatu," kata seorang tokoh perjuangan Pembantukan Kabupaten Lingga, Said Abdul Hamid. 

Mantan Ketua Tim Pemenangan pasangan Alias Wello-Muhammad Nizar itu mengatakan, bahwa pembangunan di Linga agar tidak melupakan sejarah kebudayaan adalah awal yang baik untuk kepemimpinan. 

Hal ini pernah dibuktikan di zaman Kesulatanan Lingga yang telah membuktikan bahwa saat itu para Sultan telah mampu membawa kejayaan dengan berpedoman pada kebudayaan dan ciri khas Kabupaten Lingga.

"Kita tidak boleh sombong dengan meninggalkan kebudayaan kita. Ekonomi, kesejahteraan dan kebudayaan harus seiring sejalan," kata Said Abdul Hamid.

Mungkin dengan itu pula dasar Bupati Lingga Alias Wello kembali ingin memberdayakan perusahaan timah untuk kembali ber investasi di Pulau Singkep. 

"Potensi timah di Pulau Singkep tidak bisa diragukan lagi di jalur pertimahan dunia. Bahkan timah di Singkep merupakan jalur timpel di wilayah Asia Tenggara," begitu disampaikan Manajer PT Timah Indonesia saat pertemuan dengan Bupati Lingga Alias Wello.

Jika sebagian orang menganggap bahwa timah sudah tidak banyak lagi di Lingga, maka hal tersebut sangatlah tidak layak untuk disampaikan. Bahkan hal itu bisa disebut karena kepentingan suatu golongan saja.

Mantan Anggota DPRD Lingga Rudi Purwonugroho mengatakan, bahwa timah Singkep masih sangat layak dijadikan sumber PAD Lingga.  Jika timah di Singkep sudah berkurang, mengapa beberapa kejadian di tahun 2015 dan 2016 ini, mengapa aparat keamanan telah beberapa kali membongkar sindikat pasir timah Ilegal yang berhasil menampung ratusan ton timah dari Bumi Pulau Singkep. Dan hal itu terjadi berulang kali.

"Berapa banyak mesin bor ponton yang beroperasi yang berkedok penambangan rakyat tapi menggunakan alat berat di Singkep, dan ini bukan rahasia umum lagi, bahkan kita bisa melihat pemandangan ini jika berjalan ke arah singkep barat dan air panas," kata Rudi Purwonugroho. 

Dari rilis berita yang pernah disajikan BATAMTODAY.COM tentang penangkapan pasir timah ilegal di Pulau Singkep sejak tahun 2015 dan 2016, antara lain pertama, pada bulan April 2014 jajaran Polda kepri menggerebek 30 ton pasir timah yang memiliki nilai miliaran rupiah di salah satu rumah warga untuk dijual keluar negeri secara ilegal.

Kemudian pada bulan Juni Polda kepri kembali menggerebek 17 ton pasir timah dan 1,9 ton pasir timah. Kemudian di bulan November giliran Bea Cukai Karimun mengamankan 10 ton pasir timah di laut karimun dari pulau singkep yang ditaksir senilai 2,2 milyar rupiah. Terakhir di tahun 2016 ini Polair Polda Kepri kembali menangkap penyelundup timah yang juga dari Pulau singkep sebanyak 5 ton yang akan dibawa ke Singapura.

Salah satu pekerja timah saat ditanyakan apakah hingga saat ini mereka masih menambang salah satu sumber tersebut membenarkan bahwa sampai saat ini mereka masih menambang. " Masih sampai hari ini juga masih banyak ponton, tapi lokasinya agar tertutup jauh dari rumah warga," kata sumber tersebut.

Selain dijual secara ilegal, pekerja timah dengan menggunakan ponton di Pulau Singkep ini juga telah banyak makan korban, dari beberapa catatan BATAMTODAY.COM dari tahun 2013 hingga saat ini, hampir setiap tahunnya minimal 2 nyawa melayang di penambangan timah secara tradisional dengan mesin ponton ini.

Jika dilihat pemerintah tentunya lebih bijak dalam menanggapi hal ini, apakah membiarkan timah dijual secara ilegal di pasar gelap, dan membiarkan korban meninggal tanpa asuransi tenaga kerja, hanya pemerintah yang dapat menjawab. Karna bagi masyarakat yang terpenting bagaimana mereka bisa makan hari dan tidak kelaparan.

"Yang penting dapur kami berasap, resiko tergantung nasib baik," begitu kata para pekerja timah di Singkep yang eggan disebutkan jatidirinya menanggapi mengenai  resiko kerja mereka.
 
Editor: Surya