Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Kewenangan BIN Tangkap Teroris
Oleh : Opini
Selasa | 01-03-2016 | 12:30 WIB

Oleh: Abdurahman Sayuti*

UPAYA merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang dihembuskan pemerintah dalam hal ini Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan pasca -teror di Jalan Thamrin Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016, terjadi pertentangan pendapat di kalangan masyarakat. Yang menolak revisi disuarai oleh aktivis kemanusiaan yang menganggap revisi UU Terorisme jika dilakukan, akan mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat, dan bisa disalahgunakan untuk memberangus kalangan yang tidak sepaham dengan pemerintah.

Pertentangan juga datang dari beberapa kalangan Islam, yang mencemaskan apabila UU Terorisme direvisi dikhawatirkan akan membuat aparat kepolisian bisa menangkap para khatib karena dituding menyerukan kekerasan atau mendukung kelompok garis keras. Namun demikian, di kalangan akademisi setuju revisi UU terorisme tersebut dikarenakan masih terdapat kelemahan-kelemahan yang membuat aparat keamanan terkait tidak dapat berbuat banyak karena terkendala aturan yang ada.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan draf revisi UU Terorisme dilengkapi penjelasan soal indikator terorisme, hal tersebut dapat digunakan sebagai pedoman bagi penegak hukum yang diberikan kewenangan penangkapan pada terduga teroris. Adapun, salah satu poin dalam revisi UU Terorisme memberikan kewenangan lebih bagi penegak hukum. Kewenangan tersebut, yakni wewenang menangkap seseorang yang baru diduga akan melakukan aksi teror.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Harris Azhar mengatakan  histeria akibat serangan teror di Jakarta pada 14 Januari 2015 yang menewaskan delapan orang, termasuk empat pelaku teror itu, membuat publik jadi menginginkan apa yang mereka pikir sebagai jalan pintas untuk memperoleh jaminan keamanan melalui revisi UU Terorisme. Sebenarnya revisi UU Terorisme mulai diwacanakan sekitar empat tahun lalu, momentum serangan teror seperti  inilah momen untuk mengangkat lagi ide merevisi UU Terorisme. 

Memang di satu sisi, kita harus membatasi penyebaran ekstremisme, kebencian dan hasutan. Tetapi tindakan-tindakan hukumnya harus berdasarkan prosedur yang ada ukurannya, yang bisa diuji dan dipertanggungjawabkan siapa pun. Sejauhmana kita rela mengorbankan kebebasan sipil, hak-hak asasi manusia, untuk jaminan keamanan dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan tambahan kepada aparat yang tidak memiliki reputasi bagus hingga sekarang, misalnya, korban-korban salah tangkap, atau bahkan yang tewas tanpa kejelasan status dalam operasi terorisme selama ini, pertanggungjawaban aparat dipertanyakan.

Dalam pertemuan dengan para pimpinan lembaga negara di Istana Negara Selasa pada 19 Januari 2016  Presiden Jokowi mengemukakan bahwa revisi UU Terorisme sedang didiskusikan untuk mengkaji apakah UU sekarang sudah cukup kuat dan efektif dalam mencegah dan memberantas terorisme.

Dalam pertemuan tersebut, Ketua MPR Zulkifli Hasan, mengatakan  pertemuan itu membahas sejumlah persoalan kritis terkait terorisme yang tidak tercakup oleh undang-undang yang ada, misalnya latihan perang yang menggunakan pedang kayu oleh terduga kelompok teroris, bergabungnya warga Indonesia dengan organisasi yang dinyatakan kelompok teror di Suriah dan Irak, permufakatan jahat dari orang-orang yang merencanakan serangan bom, dan lainnya. Polisi meminta agar hal-hal itu dimasukkan dalam revisi.

Agus Rianto, juru bicara Polri, mengatakan usulan yang sudah banyak dilontarkan terutama berfokus pada kewenangan tindakan penangkapan dan penahanan, antara lain menyangkut lamanya penahanan sebelum dikenakan status tersangka, yang sebelumnya penahanan terhadap mereka yang diduga terkait teror itu selama ini 7x24 jam, dapat bisa ditambah, apakah menjadi 20 hari atau berapa  hari, ini harus dibahas lagi. yang jelas, penahanan tujuh hari itu terlalu singkat. Sementara bukti-bukti yang harus kita kumpulkan juga tidak sedikit, kecuali mereka yang sudah dari awal didapatkan bukti-buktinya yang kuat.

Pengamat terorisme Hasibullah Satrawi, mengatakan terdapat kekurangan-kekurangan dalam UU terorisme yang selama ini tidak mengcover atau mencakup  kebutuhan penanggulangan terorisme di lapangan. Bagaimana menyikapi secara hukum orang-orang yang bergabung dengan kelompok-kelompok di luar negeri yang sudah dinyatakan sebagai organisasi teroris. Ini harus sudah ada aturan yang lebih detail dalam UU antiterorisme.

Terkait ujaran kebencian, hasutan, penyesatan, bagaimana dengan orang-orang yang mengungkapkan kata-kata yang secara langsung menyebut NKRI adalah thogut, dan sebagainya. Memahami kekhawatiran-kekhawatiran para pegiat HAM itu, memang harus dibuat aturan mainnya sedemikian rupa, agar undang-undang yang direvisi tidak bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak menjadi tujuannya, misalnya tidak bisa disalahgunakan untuk menumpas gerakan demokrasi di kawasan seperti Papua. Revisi itu juga harus begitu ketat sehingga tidak bisa digunakan untuk tindakan asal tangkap kepada siapa saja.

Pengamat Intelijen Susaningtyas Kertopati setuju dengan wacana revisi UU Terorisme, karena untuk memperjelas peran masing-masing lembaga negara dalam upaya pencegahan dan penumpasan terorisme. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada tumpang-tindih kewenangan di antara penegak hukum. Dalam siklus intelijen, kita tentu tidak boleh lengah dan menganggap sepele embrio terorisme dalam bentuk apapun. Deteksi dini akan lebih signifikan dan terintegrasi bila pengumpulan bahan keterangan  dilakukan dengan profesional dan akurat. Menangani teror hingga ke akar itu bukan hanya penangkapan tetapi lakukan cegah tangkal dan deradikalisasi.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso mengatakan dalam revisi Undang-undang Terorisme tetap harus ada otoritas yang berhak dalam penanganan kasus teror. Polisi sudah cukup bagus dalam menangani persoalan terorisme. Meski demikian, penambahan wewenang kepada BIN untuk melakukan penindakan dan penangkapan kepada terduga teroris akan jauh lebih baik. Selain membantu tugas kepolisian, pencegahan teror juga dianggap bisa lebih maksimal. Kalau dua-duanya polisi dan BIN, diberikan kewenangan itu lebih baik. Apabila diberi kewenangan pihaknya tidak akan melewati batas yang sudah diatur dalam undang-undang termasuk untuk mengeksekusi pelaku teror.

Tidak sependapat dengan Kepala BIN Sutiyoso, terkait kewenangan BIN untuk melakukan penindakan dan  penangkapan kepada terduga teroris, Direktur Program Imparsial, Al Araf, mengatakan mengkhawatirkan kewenangan BIN supaya bisa melakukan penangkapan dan penahanan terduga teroris bakal mengembalikan kondisi seperti zaman orde baru, ketika tim intelijen melegalisasi penculikan.

Intinya nantinya apabila diberikan kewenangan, rawan disalahgunakan dan tumpang tindih dengan kerja polisi. Namun demikian publik berkata lain, dalam jajak pendapat di Tempo.co, atau majalah Tempo terbitan 1-7 Februari 2016, mencatat, lebih dari dua pertiga responden atau 72,7 % dari 1.339 responden, setuju jika agen BIN diberi kewenangan menangkap untuk mencegah teror. Hal itu  menandakan mayoritas masyarakat setuju BIN juga diberikan kewenangan dalam menindak pelaku teror.   

Revisi UU Terorisme memang perlu dilakukan agar aparat keamanan mempunyai payung hukum yang tepat dan tidak ragu-ragu untuk menangkap seseorang atau kelompok yang terindikasi akan melakukan teror walaupun belum dilakukannya. Kita mengharapkan situasi keamanan di dalam negeri seperti zaman dulu, dimana “hampir” tidak ada  yang berani kelompok teroris  merencanakan aksi teror di Indonesia, karena sebelum melakukan aksi teror sudah dapat di amankan atau ditangkap.

Sementara UU Terorisme  sekarang ini lebih bersifat reaktif, dan hanya menjadi payung hukum untuk tindakan aparat sesudah terjadinya teror, makanya banyak kejadian aksi teror pasca-reformasi karena aparat kita tidak berani menangkap walaupun mengetahui akan ada aksi teror yang akan dilakukan oleh kelompok teroris tersebut.

Kita berharap dalam pembahasan revisi UU terorisme ini, BIN perlu diberikan kewenangan juga untuk melakukan penindakan dan  penangkapan kepada terduga teroris, yang  terindikasi akan melakukan teror, agar BIN jangan selalu disalahkan. Ketika terjadi teror, BIN selalu di “kambing hitamkan” dengan pernyataan kecolongan, lemah dan pernyataan lain yang menyudutkan institusi BIN. 

Sementara di pihak lain, apabila aparat keamanan berhasil menumpas sekelompok teroris  baik itu setelah teror (seperti kasus teror Thamrin) maupun sebelum teror, seperti penggerebekan sarang kelompok teroris di Bekasi dan Tangerang, maka pihak kepolisian dan pasukan khususnya Densus 88,  namanya akan “berkibar”,  bertolak belakang dengan institusi BIN, apabila aparat keamanan berhasil menumpas teroris namanya tidak disebut, sementara apabila ada teror namanya yang terdepan disalahkan, hal itu tidak adil. Semoga institusi BIN dapat menjadi bagian dalam penindakan terhadap pelaku-pelaku teror yang meresahkan masyarakat.  

*) Penulis adalah pemerhati masalah terorisme