Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

KPK Menilai Revisi UU Justru Memperlemah KPK
Oleh : Redaksi
Selasa | 23-02-2016 | 09:14 WIB
revisi_uu_kpk_by_bbcindonesia.jpg Honda-Batam
Aksi penolakan revisi UU KPK. (Foto: BBC)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Meski pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ditunda, pemerintahan Presiden Joko Widodo tetap meyakini bahwa revisi dilakukan demi memperkuat KPK. Akan tetapi, KPK justru memandang langkah itu memperlemah mereka.


Kepada BBC Indonesia, juru bicara KPK, Yuyuk Andriati, merujuk draf revisi UU KPK yang muncul dalam tahapan awal pembahasan revisi UU KPK di badan legislasi DPR, 1 Februari lalu.

“Itu semuanya, yang empat hal itu, posisinya adalah melemahkan KPK. Pimpinan KPK dalam beberapa kesempatan juga menyatakan bahwa sampai saat ini undang-undang yang berlaku masih cukup mendukung operasional kerja KPK,” kata Yuyuk.

Empat hal yang dimaksud Yuyuk ialah empat poin utama yang digagas untuk dimasukkan dalam revisi. Keempat poin itu meliputi pembentukan dewan pengawas KPK, penambahan kewenangan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), pengaturan tentang penyadapan, dan kewenangan bagi KPK untuk mengangkat penyidik sendiri.

Khusus mengenai dewan pengawas, Yuyuk mengacu draf revisi yang menyebut dewan pengawas bertugas mengawasi pelaksaan tugas dan wewenang KPK serta memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK.

Padahal, kata Yuyuk, KPK sudah punya penasihat yang ada sejak beberapa periode kepemimpinan KPK. Penasihat tersebut membentuk komite etik guna mengawasi pelanggaran etika pimpinan dan pegawai KPK. “Kehadiran dewan pengawas ini justru akan membuat kerja KPK terhambat,” kata Yuyuk.

Ketimbang merevisi UU KPK, Yuyuk menyarankan pemerintah dan DPR merevisi atau membuat undang-undang yang memperkuat kerja KPK, seperti Undang-Undang Perampasan Aset.

Selain Undang-Undang Perampasan Aset, Lalola Ester dari lembaga Indonesia Corruption Watch memandang pemerintah bisa merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jika memang berniat memperkuat kinerja KPK.

Dia menyebut ketiadaan pasal dalam UU Tipikor yang mengatur penindakan terhadap pejabat publik yang meningkatkan kekayaannya secara tidak sah.

“Padahal, kalau kita lihat temuan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), ada pegawai negeri sipil, misalnya, yang golongannya terbilang rendah tapi memiliki transaksi mencurigakan yang sangat besar. Nah kalau kasus ini memakai UU Tipikor yang sekarang, tidak bisa menjerat,” kata Lalola.

Sebelumnya, usai bertemu dengan para pimpinan DPR beserta beberapa ketua fraksi badan legislatif itu, Presiden Joko Widodo meminta pembahasan revisi Undang-Undang KPK ditunda.

Akan tetapi penundaan itu tidak membuat revisi Undang-Undang KPK dihapus dari program legislasi nasional atau prolegnas.
Artinya, revisi bisa dibahas lagi apabila pemerintah dan DPR memandang empat poin dalam revisi telah disosialisasikan kepada masyarakat.

"Kalau masyarakat makin paham maksud sosialisasi itu, kita sepakat dengan DPR, kita akan segera laksanakan (bahas revisi UU KPK)," kata Luhut kepada wartawan di Istana Negara, Senin (22/02).

Dalam rangka sosialisasi, imbuh Luhut, pemerintah akan mengundang tokoh-tokoh yang bicara banyak soal revisi UU KPK, misalnya para rektor dan lembaga Indonesia Corruption Watch

“Kami akan undang dan jelaskan. Nanti kami diberitahu mana yang kurang. Kita mungkin saja salah, ada yang kami tidak tahu. Kalau sudah omongkan, tidak ada yang bisa lagi bantah apa yang kita sampaikan ya sudah dong. Kalau nggak negeri ini seperti diatur suara jalanan, nggak boleh dong,” kata Luhut.

Pada Oktober 2015 lalu, pemerintah menyatakan menunda pembahasan revisi UU KPK lantaran ingin fokus pada masalah ekonomi.

Namun, sebulan kemudian, revisi UU KPK dialihkan menjadi inisiatif DPR sesuai hasil rapat antara Baleg DPR dan pemerintah. (Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Dardani