Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Presiden Jokowi Tak Bahas TPP dalam KTT ASEAN-AS
Oleh : Redaksi
Selasa | 16-02-2016 | 09:02 WIB
trade_delegates_tpp_by_ap.jpg Honda-Batam
Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) ditandatangani oleh menteri dari 12 negara anggota di Selandia Baru, awal Februari lalu. (Foto: AP)

BATAMTODAY.COM, Washington DC - Presiden Jokowi mengutarakan niat Indonesia bergabung dengan blok TPP saat bertemu Presiden AS Barack Obama, Oktober 2015 lalu.


Presiden Joko Widodo menegaskan dirinya tidak akan membahas blok perdagangan bebas Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang digagas Amerika Serikat dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-AS.

Presiden mengatakan bahwa perlu kehati-hatian dalam mengkalkulasi, menghitung untung dan rugi bagi kepentingan nasional dalam pengambilan keputusan bergabung dengan suatu perjanjian perdagangan. "Semua dikalkulasi dan ini masih dalam proses. Kita ke sini tidak ada urusannya dengan TPP. Kita ke sini untuk US-ASEAN Summit," kata Presiden Jokowi.

Menurut presiden, proses untuk bergabung dengan TPP memerlukan proses yang lama.“Mungkin bisa dua atau tiga tahun. Ini proses masih panjang perlu waktu," ujarnya ketika bertemu wartawan di Miramonte Resort, Indian Wells, California, Selasa (15/02) waktu setempat.

‎Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang turut mendampingi Presiden Jokowi mengatakan proses pertimbangan itu mencakup hal teknis dan politis. Hal itu, katanya, juga dialami 12 negara pendiri TPP. “Negara-negara pendiri TPP juga belum ratifikasi, baru kesepakatan tapi mereka harus melewati proses 12 parlemen untuk me

Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) ditandatangani oleh menteri dari 12 negara anggota di Selandia Baru, awal Februari lalu.
‎
Niat Indonesia untuk bergabung dengan TPP dikemukakan Presiden Jokowi ketika bertemu Presiden AS Barack Obama dalam kunjungan ke AS, Oktober 2015 lalu.

Perwakilan perdagangan AS, Michael Froman, mengatakan Indonesia harus meniadakan tarif impor barang-barang para anggota TPP jika ingin bergabung dengan blok perdagangan bebas tersebut.
Lebih jauh, menurut Froman, Indonesia mesti meniadakan sejumlah penghalang, seperti persyaratan keberadaan konten lokal pada produk-produk asing.

Akan tetapi, Gusmardi Bustami, yang kini menjabat sebagai pakar di Trade Policy Forum, menilai urusannya bukan sekadar persyaratan dagang.

Gusmardi Bustami, yang kini menjabat sebagai pakar di Trade Policy Forum, menilai urusan TPP bukan sekadar persyaratan dagang. 

"TPP ini adalah sebuah kesepakatan yang menerapkan kualitas sangat tinggi," kata bekas dubes RI di WTO ini.
"Tidak hanya menyangkut penurunan tarif saja. Tetapi juga mencakup yang lebih jauh dari itu. Yang non trade concern, yang bisa mempengaruhi perdagangan, juga dibahas. Soal hak milik intelektual, lingkungan, kondisi perburuhan, swastanisasi BUMN."

Yang butuh modal politik sangat besar adalah swastanisasi BUMN, karena merupakan langkah yang sangat banyak ditentang secara politik.

"Maka nanti kalau sudah ada dokumennya, harus kita pelajari lebih jauh apa yang bisa kita peroleh dari perjanjian standar tinggi ini."

Pakar perdagangan internasional Fithra Faisal mengatakan persyaratan bagi Indonesia akan terasa lebih berat jika memang memutuskan bergabung dengan TPP.

“Kita sudah tidak bisa lagi terlalu merundingkan kepentingan-kepentingan khusus kita. Sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi," papar Fithra. (Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Dardani