Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pejabat Kemendiknas Disebut 'Kecipratan' Dana Inklusif Universitas Karimun
Oleh : Charles Sitompul
Selasa | 19-01-2016 | 18:48 WIB
sidang-saksi-sri.jpg Honda-Batam
Sri Yuniarti, saksi yang mengungkap aliran penerima dana pendidikan inklusif Universitas Karimun yang dikorupsi. (Foto: Charles)

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Sejumlah pejabat di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) disebut menerima dana inklusif yang 'diminta' dari Bendahara Pokja Universitas Karimun.

Sri Yuniarti, pegawai Kemendiknas yang menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi dana bantuan pendidikan inklusif Universitas Karimun menyebut pejabat instansinya yang menerima aliran dana tersebut diantaranya Dirjen Pendidikan SD dan SMP Kementerian Pendidikan, serta Dr.Pratopo selaku atasannya.

Hal itu dikatakan Sri dalam keteranganya pada Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor Tanjungpinang, dalam persidangan dengan tersangka Edison dan M. Suhatsyah, Selasa (19/1/2016). 

Dalam persidangan tersebut, Sri sempat membuat Majelis Hakim yang Menyidangkan Erita Rasginting, Jhony Gultom SH dan Lindawati SH, "jengkel" karena memberikan keterangan yang berbelit. Setelah mendapat peringatan dari hakim, akhirnya Sri yang saat itu mengaku sebagai panitia pelaksana kegiatan inklusif di Karimun serta Hari Pencanangan Pendidikan Pendididikan Inkulsif di Lombok, mulai 'buka kartu'. 

"Yang menyuruh Pak Mujito, saya terima dari tersangka Suhatsyah Rp 25 juta saat kegiatan di Karimun, serta minta transfer Rp 12 juta untuk pelaksanaan kegiatan pencanangan di Lombok," kata Sri dengan terus terang. 

Saksi juga menyatakan, atas perintah Mujito, dan atasannya, Pratopo, Sri bersama lima orang staf Kemendiknas berangkat ke Karimun untuk melaksanakan kegiatan pendidikan inklusif, bersama dengan sejumlah narasumber.

"Ketika ke Karimun kami tidak ada dana, dan surat tugas, SPP juga tidak ada, hingga pendanaan dilakukan dari dana Pokja Inklusif yang dikucurkan Kementerian Pendidikan," ujar Sri. 

Usai kegiatan di Universitas Karimun, selain meminta honor pada tersangka Suhatsyah sebagai Bendahara, pihaknya juga meminta pengganti tiket, yang sebelumnya sudah dibelikan Kementerian Pendidikan. 

"Total uang yang saya terima kurang lebih Rp 28 juta, honor dan ganti tiket," kata Sri lagi. 

Selain dana tersebut, pada 2013, kendati kegiatan pendidikan dari APBN sudah selesai, tetapi karena masih ada dana Rp 400 juta lebih, dilakukan kegiatan bersama 12 kabupaten/kota Pokja Pendidikan Inklusif ‎di Lombok. 

"Setiap kabupaten menyetor Rp 12 juta, dan saya yang ambil sebagai honor dan biaya hotel, pejabat Kementeriaan Pendidikan," kata Sri lagi. 

Ketika memberikan keterangan pada terdakwa mantan Rektor Universitas Karimun, Abdul Latif, Sri yang diduga sering "memalak" aparatur pendidikan di daerah ini, sempat menyatakan akan mengembalikan dana yang diterima. Dan ketika hal itu kembali dipertanykan Hakim Linda, Sri berkilah, sudah tidak dapat mengembalikannya, karena dana tersebut sudah habis terpakai dan dibagi-bagikan pada Pejabat Kementerian Pendididikan. 

‎"Saat ini saya tidak mampu Bu. Uang sudah dipakai dan tidak ada lagi. Saat datang ke sini sebagai saksi, saya juga biaya sendiri," kata Sri lagi.

Atas keterangan saksi, Majelis Hakim menyatakan kalau hal itu sepenuhnya, tanggung jawab saksi, demikian juga dua terdakwa yang saat ini duduk sebagai pesakitan.

Dalam sidang ini juga terungkap, dari Rp 900 juta dana pendidikan inklusif yang dikucurkan Kementerian Pendidikan ke Pokja Pendidikan Inklusif Universitas Karimun, sebagiannya sudah dilaksanakan pada 2012. Sementara sisanya Rp 417 juta, kembali digunakan pada Januari 2013 kendati saat itu tahun anggaran telah selesai. 

Ats keterangan saksi, dua terdakwa masing-masing Edison dan M. Suhatsyah, membenarkan dan penyerahan dana dikatakan atas perintah mantan Rektor UK  Abdul Latif. 

Sidang akan kembali dilanjutkan pada pekan mendatang, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi lainnya, termasuk saksi ahli dari BPKP. 

Editor: Dodo