Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Keluarga Siswi Korban Kekerasan Seksual di Bintan Ambil Langkah Hukum
Oleh : Charles Sitompul
Selasa | 19-01-2016 | 16:09 WIB
kekerasan_seksual.jpg Honda-Batam
Ilustrasi.

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Sejak dikeluarkan dari tempatnya belajar, siswi SMP di Bintan Tinur Kijang yang menjadi korban kekerasan seksual, sebut saja Melati (14), hanya mengurung diri di rumah dan tidak mengikuti proses belajar mengajar lagi.

Pasalnya, sejak dikeluarkan, dan selanjutnya pindah ke sekolah SMP 27 Satu Atap Korindo yang jaraknya 16-17 kilometer dari tempat tinggalnya, orangtua Melati mengaku tidak sanggup mengantar dan membiayai ongkos transportasi anaknya. 

"Sekolahnya jerlalu Jauh, kami tidak bisa mengantarnya, karena tak ada motor. Transportasi umum juga tidak ada, demikian juga ojek," kata K, ibu kandung Melati, Selasa (19/1/2016). 

Sementara upaya mediasi dan permintaan orangtua kepada sejumlah pejabat Bintan, termasuk Kepala Dinas Pendidikan Bintan Makhfur Zurachman, tidak sesuai harapan dengan alasan pihaknya tidak dapat mengintervensi keputusan sekolah. 

Selain itu, Makhfur juga mengatakan, penanganannya sudah sesuai dengan UU nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan dan PP Nomor 17 Tahun 2010 serta Peraturan Sekolah. 

Tragisnya, Makhfur yang menunjukkan pasal UU dan aturan Ini, hanya menguasai hak dan kewajiban siswa, namun tidak memperhatikan bab dan pasal selanjutnya dari aturan yang disebutkan, khusunya mengenai kewajiban pendidik dan Dinas Pendidikan sebagai manajemen pendidikan yang harus melindungi psikologis anak. 

"Kalau menghilangkan haknya untuk mendapatkan pendidikan, memang tidak boleh. Tetapi yang sudah dilakukan oleh pihak sekolah adalah mediasi dan memberikan kesempatan anak untuk mendapatkan pendidikan di tempat lain," ujarnya kepada BATAMTODAY.COM

Terpisah, Ketua KPAID Kepri, Erry Syahrial, mengatakan perilaku mengeluarkan siswa korban kekerasan seksual yang dilakukan kepala sekolah salah satu SMP di Bintan Timur itu, sebelumnya sudah dilakukan mediasi, dengan meminta pada kepala sekolah agar mengembalikan anak tersebut ke sekolah asalnya belajar. 

"Tetapi dengan alasan akan menjadi aib, kepala sekolah enggan mengembalikan. Dan memang banyak kasus seperti ini di sejumlah sekolah di Bintan tetapi malah ditutup-tutupi dengan cara mengeluarkan siswa dari sekolah," kata dia. 

Upaya Hukum akan Dilakukan
Sementara itu, kuasa hukum keluarga Melati, Agus Riauwantoro menyatakan akan melaporkan kasus ini ke Komisi Nasional Perlindungan Anak di Jakarta, KPAID, Bupati Bintan, hingga ke Polisi. 

"Kejadian ini sangat kita sayangkan, dan oleh karena itu, kami akan membuat laporan dengan menunjukkan sejumlah bukti, termasuk putusan Pengadilan, yang menyatakan, kalau Melati merupakan korban kekerasan seksual, dan yang seharusnya dilindungi, tetapi malah menerima perlakuan diskriminatif dari kepala sekolah serta Kepala Dinas Pendidikan," tegas Agus.

Kejadian ini, tambah Agus, sangat miris dan ironis mengingat Pemerintah Bintan yang sedang meningkatkan pembangunan sumber daya manusia dengan mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBD setiap tahunnya untuk sektor pendidikan. 

Agus juga menyatakan, akan melaporkan perlakuan diskriminatif dan yang menyebabkan terganggunya kembali psikologis Melati paska-kejahatan seksual yang dialami. 

"Sesuai dengan pasal 77 UU Perlindungan Anak nomor 35 Tahun 2014, secara jelas dikatakan, setiap orang yang melakukan diskriminasi pada anak di bawah umur, khususnya siswa didik, dapat dipidana maksimal 5 tahun," kata Agus. 

Hal ini, kata Agus, dilakukan untuk menguji keputusan kepala sekolah dan Kepala Dinas Pendidikan Bintan, yang mengeluarkan dan membuat surat fiktif pengembalian Melati ke orangtuanya. Sekaligus memberikan pembelajaran pada semua pihak, kalau melakukan diskriminasi dan mengeluarkan siswa korban kekerasan seksual serta fisik dan fisikis dari sekolah, tanpa sebab yang jelas itu merupakan tindak pidana kejahatan pada anak. 

Sebelumnya, K dan orangtua Melati, L, sangat berkeinginan agar anaknya dapat kembali bersekolah. "Kalau tidak bisa sekolah di sana, pindahkanlah anak kami ke sekolah SMP yang bisa kami jangkau, agar tak membebani pikiran dan biaya yang tidak kami mampu," ujarnya. 

Editor: Dodo