Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kenali Jenis Udara Pemicu Obesitas
Oleh : David Robson
Minggu | 17-01-2016 | 09:29 WIB
air_by_bbc.jpg Honda-Batam
Pencemaran udara akibat gas buang kendaraan bermotor. (Foto: BBC)

BATAMTODAY.COM, London - Tanpa ada perubahan lain dalam gaya hidup atau pola makan, udara yang tercemar bisa menyebabkan Anda bertambah berat badan.

Ambil napas dalam-dalam, dan hembuskan. Tergantung di mana Anda tinggal, udara yang memenuhi paru-paru dan menghidupkan itu mungkin akan mendorong Anda menuju diabetes dan obesitas.

Bayangan bahwa udara bisa membuat kita gemuk terdengar konyol, tapi beberapa studi yang luar biasa rumit menunjukkan bahwa hal itu mungkin terjadi. Dua orang bisa makan makanan yang sama dan melakukan olahraga dalam porsi yang sama, tapi dalam beberapa tahun, salah satunya bisa lebih gemuk dan mengalami metabolisme yang lebih kacau – karena atmosfer di rumah mereka.

Polusi dari kendaraan bermotor dan asap rokok adalah sebab utama, dengan partikel kecil yang mengganggu dan menyebabkan peradangan luas dan mengganggu kemampuan tubuh membakar energi. Meski dampak jangka pendeknya minim, tapi secara akumulatif sepanjang hidup, cukup untuk menyebabkan penyakit serius – selain penyakit pernapasan yang biasanya terkait asap. 

“Kita baru mulai memahami bahwa dampak dari sirkulasi polusi udara dalam tubuh bisa berpengaruh lebih dari sekadar paru-paru,” kata Hong Chen, peneliti di Public Health Ontario dan Institute of Clinical Evaluative Sciences di Canada.
Seberapa kuat bukti dari penelitian ini, dan haruskah kita cemas?

Tikus laborataorium menawarkan bukti konkret paling awal tentang dampak dari polusi udara yang bisa menjangkau jauh melampaui paru-paru. Qinghua Sun, yang membiakkan tikus di Ohio State University, tergerak untuk meneliti kenapa penduduk kota lebih berisiko terkena serangan jantung dibanding penduduk desa. 

Gaya hidup, tentu saja, menjadi satu alasan; contohnya di kebanyakan kota besar, makanan cepat saji gampang sekali didapat, sehingga bisa memicu kebiasaan makan tak sehat. Namun, dia bertanya-tanya, apakah ada jawaban lain, yang tak terlihat di udara yang kita hirup.

Untuk mencari tahu lebih jauh, dia mulai membiakkan tikus lab dalam kondisi yang mirip dengan keadaan di berbagaikota. Beberapa menghirup udara yang bersih dan difilter, sementara yang lain menghirup udara dan asap seperti di dekat jalan raya atau pusat kota yang sibuk. Sepanjang penelitian, timnya menimbang tikus-tikus tersebut dan melakukan berbagai tes untuk menguji bagaimana metabolismenya.

Setelah hanya 10 minggu, efeknya langsung terlihat. Tikus yang terpapar polusi udara menunjukkan volume lemak tubuh yang lebih besar, baik pada sekitar perut atau sekitar organ dalam; pada level mikro, sel lemak terlihat 20% lebih besar pada tikus yang menghirup kabut polutan. Terlebih lagi, mereka menjadi tak sensitif pada insulin, hormon yang memberi sinyal pada sel untuk mengubah gula darah menjadi energi: langkah pertama menuju diabetes.

Mekanisme tepatnya masih dalam perdebatan, tapi berbagai eksperimen lanjutan pada hewan menunjukkan bahwa polusi udara memicu rangkaian reaksi dalam tubuh. Partikel-partikel kecil, yang lebarnya kurang dari 2,5 mikrometer, disebut sebagai alasan utama – butiran polutan yang kecil yang membuat udara kota berkabut. Saat kita menghirupnya, polutan ini mengganggu kantung udara kecil dan lembap yang biasanya akan mengalirkan oksigen masuk ke aliran darah.

Hasilnya, lapisan paru-paru meningkatkan respons stresnya dan membuat sistem saraf bekerja berlebihan, termasuk melepas hormon yang mengurangi kekuatan insulin dan menarik darah dari jaringan otot yang sensitif terhadap insulin, sehingga tubuh tak bisa mengendalikan kadar gula darahnya.

Partikel kecil yang mengganggu ini juga melepaskan molekul peradangan yang disebut “sitokin (cytokine)” untuk mencuci aliran darah, respons yang memicu sel kekebalan tubuh untuk menyerang jaringan yang sebenarnya sehat. Tak hanya mengganggu kemampuan jaringan tubuh untuk merespons insulin; peradangan yang terjadi selanjutnya juga mengganggu hormon dan otak yang memproses dan mengatur nafsu makan, kata Michael Jerrett dari University of California, Berkeley.

Semua rangkaian ini mengganggu keseimbangan energi tubuh, dan mendorong serangkaian gangguan metabolisme, termasuk diabetes dan kegemukan, serta masalah kardiovaskuler seperti tekanan darah tinggi.

Berbagai penelitian besar dari kota-kota di seluruh dunia menunjukkan bahwa manusia bisa jadi mengalami konsekuensi yang sama. Chen, misalnya, memeriksa catatan medis 62.000 orang di Ontario, Kanada, sepanjang 14 tahun. 

Dia menemukan bahwa risiko diabetes naik 11% untuk setiap 10 mikrogram partikel halus dalam satu meter kubik udara – statistik yang mencemaskan mengingat polusi di berbagai kota Asia bisa mencapai sampai 500 mikrogram per meter kubik udara. 

Di Eropa, sebuah penelitian di Swiss menemukan tanda-tanda serupa akan resistensi yang meningkat terhadap insulin, tekanan darah tinggi, dan lingkar pinggang dalam sampel 4.000 orang yang hidup di tengah polusi parah.

Dengan mengganggu sensitivitas terhadap insulin, polusi udara bisa berpengaruh pada gangguan seperti diabetes dan berbagai gangguan terhadap metabolisme jantung lain yang bisa memperpendek usia.

Para ilmuwan sangat khawatir akan dampak ini pada anak-anak kecil, dan beberapa cemas bahwa ibu yang terpapar polutan ini bisa mengubah metabolisme bayi sehingga mereka lebih mudah terkena obesitas. Simaklah penelitian Andrew Rundle di Columbia University yang meneliti anak-anak yang tumbuh besar di Bronx. 

Saat kehamilan, ibu dari anak-anak itu mengenakan ransel kecil untuk mengukur kualitas udara saat menjalani aktivitas sehari-hari, dan dalam tujuh tahun terakhir kesehatan anak-anaknya dimonitor secara teratur. Dengan mengendalikan faktor lain (seperti kekayaan dan diet), anak-anak yang lahir di area yang paling tercemar bisa 2,3 kali lebih mungkin menjadi obesitas, dibandingkan mereka yang tinggal di kawasan yang lebih bersih.

Sementara itu, Jerrett juga menemukan bahwa risikonya bisa datang dari luar dan dari dalam rumah: orangtua yang merokok bisa menyebabkan lebih cepatnya peningkatan berat badan di kalangan remaja dan anak-anak California. “Terjadi interaksi yang sinergis dengan dampak dari polusi udara,” katanya – dengan kata lain, risiko gabungannya jauh lebih besar daripada risiko yang dihadapi sendiri-sendiri.

Menurut satu penelitian, hidup di kota yang sangat tercemar bisa dua kali lipat meningkatkan risiko anak menjadi obesitas. Terlepas dari hasil temuan yang menakutkan ini, kita juga harus waspada dalam mencermatinya. “Penelitian ini hanya menarik kesimpulan antara keterpaparan dan hasil, tapi tak bisa membuktikan yang satu mempengaruhi yang lain,” kata Abby Fleisch di Harvard Medical School. 

Meski begitu, temuan penelitiannya juga sama dengan tren umum – dia telah membuktikan bahwa daam enam bulan pertama, bayi-bayi dari para ibu yang tinggal di area tercemar terlihat bertambah berat tubuhnya lebih cepat dari mereka yang tinggal dia area yang bersih – tapi dia menegaskan bahwa kita masih belum pasti apakah ada faktor lain yang terlupakan, selain polusi, yang bisa menjelaskan hubungan tersebut.

Untungnya, sejumlah tim sudah mencari bagian yang hilang dalam pengetahuan kita akan studi yang lebih mendalam. Robert Brook dari University of Michigan dan koleganya di Cina, contohnya, baru-baru ini menguji sekelompok kecil subyek di Beijing selama dua tahun. 

Mereka menemukan bahwa setiap kali kabut polusi datang ke kota itu, terjadi peningkatan tanda-tanda masalah yang berkembang, seperti resistensi terhadap insulin dan tekanan darah tinggi – dan ini memberikan bukti yang lebih konkret bahwa kualitas udara mendorong perubahan dalam metabolisme.

Membersihkan polusi asap kendaraan seperti ini bisa menyelamatkan jutaan orang dari penyakit seumur hidup.
Jika kaitan ini terbukti, apakah kita harus cemas? Para saintis menegaskan bahwa risiko jangka pendek dan individual terhadap satu orang relatif kecil, dan tak seharusnya disebut sebagai penyebab obesitas, tanpa mempertimbangkan aspek lain dalam gaya hidup. 

Namun melihat jumlah orang yang hidup di kota dengan polusi tinggi, dalam jangka panjang, jumlah korban bisa menjadi besar. “Semua orang terdampak polusi dengan berbagai cara,” kata Brook. “Keterpaparan yang terus-terusan dan tak bisa terhindarkan pada miliaran orang – sehingga dampaknya menjadi lebih besar.”

Solusinya sudah banyak diketahui, tapi sulit diterapkan: membatasi polusi udara dengan mempromosikan kendaraan listrik dan hybrid, contohnya. Jerrett menyarankan bahwa jalanan juga bisa dirancang ulang untuk mengurangi kemungkinan pejalan kaki dan pesepeda terpapar polusi. Dalam jangka pendek, dia juga menyebut penyaring udara bisa ditambahkan di banyak rumah-rumah, sekolah, dan kantor untuk menyaring partikel berbahaya.

Brook setuju bahwa langkah ini harus diambil secara internasional, baik di negara berkembang maupun di kota-kota seperti Paris dan London yang, kelihatannya, seperti bisa menekan tingkat pencemaran udara. 

“Di Amerika Utara dan Eropa, kadar polusi menunjukkan arah yang tepat – tapi kita tak boleh puas,” katanya. “Dari sudut pandang memperbaiki kesehatan di seluruh dunia, ini harusnya menjadi satu dari 10 kepedulian kita yang terbesar.” (Sumber: BBC Indonesia)