Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sidang MKD 'Papa Minta Pulsa' Dagelan Politik Tak Lucu
Oleh : Redaksi
Kamis | 03-12-2015 | 09:57 WIB
sidang_mkd_by_bbc.jpg Honda-Batam
Para petugas pengamanan dalam DPR RI melarang wartawan meliput langsung sidang MKD. (Foto: BBC)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengamat mengkritik sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai dagelan dan sarat dengan kepentingan politik, meski memuji sidang yang akhirnya diputuskan secara terbuka sehingga bisa dilihat publik.


Pengamat Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia Bivitri Susanti mengapresiasi sidang MKD DPR yang berlangsung secara terbuka. Tetapi Bivitri mengatakan dalam sidang tersebut tampak sekali upaya tarik menarik kepentingan politik. 

“Mereka kelihatan tidak fokus, kelihatan sekali ada tarik menarik, ada sebagian anggota MKD yang tidak mau kasus ini terbuka semakin lebar, dan bisa dinamika itu pasti ada, tidak hanya Partai Golkar, tetapi juga aktor-aktor yang berafiliasi dengan Luhut, dan banyak faktor lain dan ingin menggagalkan dengan terkuaknya sidang ini,” jelas Bivitri.

Dalam keterangan pers tak lama setelah rekaman ini mencuat, Menko Polhukham Luhut Pandjaitan sudah mengaku tidak terlibat. "Mengenai saya sendiri, saya disebut-sebut dalam tape itu. Saya tidak pernah terlibat dalam urusan-urusan semacam itu," kata Luhut.

Sementara Adies Kadir dari Partai Golkar juga membantah melindungi Setya Novanto dan Partai Golkar. "Tidak ada partai jelas, ketua umum kami sudah menyampaikan di MKD ini sesuai dengan tata cara perundang-undangan, makanya kami banyak berdebat di sana, validasi dulu terhadap rekaman dan lain-lain, nah begini jadinya, kan mubazir panggil-panggil orang padahal rekamannya tidak sah," kata Adies.

Rekaman percakapan yang diduga antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha Muhamad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Ma’ruf Sjamsoeddin di sebuah hotel di Jakarta, akhirnya diputar dalam sidang MKD yang berlangsung secara terbuka.

Mahkamah Kehormatan Dewan MKD DPR memutuskan untuk membuka rekaman percakapan yang diserahkan Menteri ESDM Sudirman Said, melalui mekanisme voting.

Dalam voting tersebut, empat anggota DPR yang berasal dari Fraksi Gerindra dan Golkar tidak setuju dengan pemutaran rekaman dalam sidang.

Pengamat Hukum Tata Negara Unpad I Gede Panca Astawa menilai anggota MKD lebih memposisikan sebagai penegak hukum dan memperlakukan pengadu sebagai terdakwa.

"Pengadilan etik bukan pengadilan pro justisia lho, jadi ini seharusnya nanti persoalannya apakah subtansi yang diajukan itu tentu diverifikasi dicocokan dengan peraturan kode etik yang dimiliki dengan DPR, ada tidak yang diadukan ini dalam hal ini pak Setya Novanto ini berdasarkan laporan pengaduan, berdasarkan saksi-saksi itu, di situ nanti akan datang satu penilaian, bahkan memutus terjadi pelanggaran kode etik atau tidak terjadi pelanggaran kode etik," jelas Panca Astawa.

"Ini kok di antara anggota MKD ini berbeda interupsi, sepeti rapat kerja ada interupsi dan sebagainya berdebat satu sama lain, ini pengadilan atau dagelan. Sungguh tidak elok," tambah dia.

Sebelumnya diberitakan dalam rekaman pembicaraan yang berdurasi sekitar dua jam, Ketua DPR Setya Novanto diduga mencatut nama presiden dan wakil presiden tentang renegosiasi kontrak Freeport.

Setya Novanto juga disebut meminta saham ini agar diberi saham suatu proyek listrik yang akan dibangun di Timika, serta meminta agar Freeport jadi investor dan kemudian membeli tenaga listrik yang dihasilkan. Sidang MKD dijadwalkan dilanjutkan Kamis siang (03/12) dengan memanggil Ma’ruf Sjamsoeddin. (Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Dardani