Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kontroversi Setnov! Mundur Atau Dimundurkan
Oleh : Redaksi
Kamis | 19-11-2015 | 09:53 WIB
setya_novanto_by_getty.jpg Honda-Batam
Ketua DPR RI Setya Novanto. (Foto: Getty)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Dalam waktu kurang dari 24 jam, sebuah petisi online di situs Change.org yang menuntut "Pecat Ketua DPR Setya Novanto" sudah mendapat lebih dari 34.000 penandatangan.


Menurut Communication Associate Change.org Dhenok Pratiwi, petisi ini bukan salah satu yang terbesar, tapi termasuk paling cepat pertumbuhan angka penandatangannya.

Untuk mencapai puluhan ribu penandatangan, menurut Dhenok, "Biasanya butuh berhari-hari. Petisi tolak reklamasi Bali, berbulan-bulan baru bisa mencapai angka puluhan ribu," kata Dhenok.

Ditanya, sejauh apa petisi ini memberi gambaran tentang sentimen masyarakat, Dhenok mengatakan, "Petisi bisa dikatakan berhasil jika tuntutannya dipenuhi, menang jika Setya Novanto mundur dari jabatannya, tapi bisa dilihat sebagai tekanan publik, bahwa publik tidak diam, publik mengawasi kinerja DPR dan dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota-anggota DPR."

Mahkamah Kehormatan Dewan baru menerima bukti rekaman yang diduga berisi percakapan antara Setya Novanto, seorang pengusaha, dan pimpinan Freeport.

Namun masyarakat yang menuntut pemecatan Setya Novanto yang biasa disapa Setnov itu harus siap-siap kecewa. Alasannya, Mahkamah Kehormatan Dewan tidak bisa meminta, menyuruh, atau menganjurkan seorang anggota dewan yang sedang bermasalah untuk mundur.
Proses panjang

Saat ini, Mahkamah Kehormatan Dewan sedang dalam proses mengumpulkan bukti, yaitu rekaman asli yang dimiliki Menteri ESDM Sudirman Said dan diduga berisi pertemuan Setya Novanto dengan pimpinan PT Freeport. Flashdisk rekaman tersebut diterima Rabu (18/11) oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.

Menurut Hardisoesilo, Wakil Ketua MKD DPR, "Ya nggak bisa (menyuruh mundur), nggak ada aturannya."

Hardisoesilo menjelaskan proses panjang yang masih akan berlangsung di MKD. Saat ini, dalam proses pengumpulan bukti, MKD masih berusaha menentukan apakah aduan yang diajukan oleh Menteri ESDM tersebut valid.

"Jadi ini diserahkan buktinya, aslinya, rekamannya, dari situ kita punya 14 hari, kalau itu dilaksanakan oleh tenaga ahli, bisa minta bantuan pakar atau profesional lainnya, nanti dikaji. Kalau tenaga ahli menyatakan ada dugaan melanggar kode etik, baru membawa ke pimpinan, kalau pimpinan bilang, oh betul ini, ada dugaan, melanggar, nanti dibawa ke pleno terdiri dari 17 orang anggota MKD. Ini yang menentukan dilanjutkan atau tidak, tergantung bukti-buktinya," kata Hardi.

Sebelumnya, Setya Novanto pernah mendapat sanksi teguran dari Mahkamah Kehormatan Dewan terkait pertemuannya dengan salah satu kandidat capres AS, Donald Trump di New York.

Jika pleno tersebut memutuskan bahwa aduan bisa ditangani lebih lanjut, maka baru pengadu dipanggil untuk memberi pernyataan di bawah sumpah. Dan di sini pun teradu atau Setya Novanto bisa memberi bantahan, jika terjadi perdebatan, baru MKD akan melakukan pemeriksaan saksi-saksi.

"Kalau sekarang aduannya kan masih baru, ini benar atau enggak. Kalau salah, bisa dicabut," kata Hardi.
Proses inilah yang kemudian menentukan apakah Setya Novanto bisa dijatuhi sanksi, ringan, sedang, berat. "Kalau berat itu (hukumannya) bisa diskors tiga bulan, bisa diberhentikan," ujarnya.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang mengatakan bahwa kesenjangan antara desakan publik agar Setya Novanto mundur dengan proses panjang yang terjadi di Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai suatu hal wajar.

"Ya biasa kan publik itu kan ingin cepat, prosesnya cepat, karena publik tidak mengikuti logika proses hukum. Publik punya logika sendiri, kalau seseorang sudah dinilai bersalah, ya cepat maunya dihukum, atau segera mendapat akibat dari perbuatannya," kata Sebastian.

Dia melihat bahwa desakan publik agar Setya Novanto mundur lebih sebagai bagian dari upaya untuk menghidupkan budaya malu dari para pejabat. Sebastian membandingkannya dengan pejabat di negara lain yang, "jangankan mereka jadi tersangka, begitu ribut (seperti) begini saja sudah mundur."

Aturan hukum yang berlaku, menurutnya, tidak akan mampu menjangkau permasalahan etika seperti yang terjadi sekarang.

Meski begitu, masyarakat tetap bisa memberi tekanan kepada anggota DPR lainnya untuk mengambil langkah tersendiri.

"Kalau mereka (anggota DPR) merasa ulah pimpinan mencoreng kehormatan lembaga itu, mereka juga bisa bertindak, mereka bisa mengajukan mosi tidak percaya, itu kan dari internal. Atau secara internal pimpinan-pimpinan fraksi mendesak MKD untuk segera memproses, supaya prosesnya lebih cepat. Jadi itu cara-cara yang bisa dilakukan sebagai bentuk perhatian, atensi dari publik terhadap kasus itu. (Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Dardani