Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

HRW Minta Jokowi Terbitkan Inpres Peliputan Wartawan Asing ke Papua
Oleh : Redaksi
Kamis | 12-11-2015 | 08:42 WIB
jokowi_dan_pers_di_papua_by_bbc.jpg Honda-Batam
Presiden Jokowi dalam kegiatan di Papua. (Foto: BBC) 

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Perintah Presiden Joko Widodo diminta agar kebebasan pers dihormati di Papua tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh bawahannya. 


Permitaan itu disampaikan Human Rights Watch (HRW) dalam pemaparannya atas laporannya setebal 75 halaman bertajuk “Something to Hide?: Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua,” Andreas Harsono dari HRW mengatakan wartawan asing yang terakreditasi di Jakarta masih dibatasi untuk pergi ke Papua.

“Mereka masih harus minta surat jalan ke Badan Intelkam Polri , juga masih harus memberitahu jadwal, tujuan, tempat dan waktu peliputan di Papua ke Kementerian Luar Negeri,” ujar Andreas kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

"Padahal, ini tidak diperlukan apabila seorang wartawan asing pergi meliput ke Bandung, Yogyakarta, Makasar dan tempat-tempat lain di Indonesia. Indonesia sebagai satu Negara cukup satu visa jurnalis, tidak perlu visa ganda ke untuk meliput di Papua," tambah Andreas.

Ketika ditanya mengenai pernyataan seorang pejabat Indonesia yang mengatakan pengajuan ijin peliputan lumrah dilakukan di Cina dan negara manapun di dunia, Andreas tidak menepis.

“Oh betul, kalau jurnalis mau meliput ke daerah Xinjiang yang bermasalah di Cina, jurnalis harus mengajukan permohonan surat jalan. Pertanyaannya, mau tidak Indonesia disamakan dengan rezim otoriter macam Cina?” ujarnya.

Unjuk rasa masyarakat Timika, dalam suatu acara yang digelar Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Andreas mengamini bahwa semua jurnalis harus mengajukan visa wartawan ketika meliput di sebuah negara. “Persoalannya, seharusnya tidak perlu ada visa khusus ke Papua, bukan?”

Berdasarkan wawancara kepada 107 wartawan, redaktur, dan lembaga swadaya masyarakat, HRW menemukan bahwa persoalan pembatasan peliputan jurnalis asing telah berlangsung selama 25 tahun.

“Ada semacam sikap paranoid dari pemerintah Indonesia terhadap jurnalis asing. Di daerah ini kan ada pemberontakan, korupsi, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan hidup. Semuanya ini ditutupi,” kata Andreas.

Lebih dari itu, kata Andreas, wartawan lokal di papua justru menderita pembatasan yang lebih parah lagi. “ Ada yang diintimidasi, ruang redaksi dimasuki militer sehingga menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman.”

Bahkan, menurut Andreas, dia mendapat laporan bahwa pekerja-pekerja kemanusiaan asing , pejabat-pejabat PBB, dan akademsi dibatasi masuk ke Papua.

Andreas mengakui bahwa ada kemajuan sejak Presiden Jokowi memerintahkan pembukaan akses kepada wartawan asing di Papua pada 10 Me 2015. Menurutnya ada beberapa wartawan dari berbagai Negara, termasuk Selandia Baru yang datang meliput ke Papua tanpa hambatan berarti.

Namun, kebebasan itu tidak seleluasa seperti yang terjadi jika wartawan asing meliput ke tempat-tempat lain di Indonesia.

“Oleh karena itu, Human Rights Watch mengusulkan Presiden Jokowi menerbitkan instruksi presiden mengenai peliputan wartawan asing ke Papua. 

Tidak cukup secara verbal, harus aturan tertulis. Sehingga bawahan-bawahan presiden memiliki pegangan,” kata Andreas. (Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Dardani